Ikhtisar yang menunjukkan selisih antara nilai transaksi ekspor dan impor suatu negara dalam jangka waktu tertentu (balance of trade). (Otoritas Jasa Keuangan)
Apa itu Neraca Perdagangan?
Neraca perdagangan atau balance of trade (BoT) adalah perbedaan antara nilai semua barang dan jasa yang diekspor serta diimpor dari suatu negara dalam periode waktu tertentu. Neraca perdagangan menjadi komponen terbesar dalam neraca pembayaran karena jadi indikator untuk mengukur seluruh transaksi internasional.
Dalam praktiknya, neraca perdagangan mempunyai dua sifat, positif dan negatif. Suatu negara dikatakan mempunyai neraca perdagangan yang positif apabila negara tersebut lebih banyak melakukan ekspor daripada impor. Sebaliknya, ketika suatu negara lebih banyak menerima impor dari negara lain daripada ekspor, negara tersebut mempunyai neraca perdagangan yang negatif.
Penghitungan Neraca Perdagangan
Ada dua hal yang dibutuhkan untuk menghitung neraca perdagangan, yaitu nilai ekspor dan nilai impor. Neraca perdagangan punya rumus yang sederhana, yaitu nilai ekspor dikurangi nilai impor.
Yang dimaksud ekspor adalah barang dan jasa yang dibuat di dalam negeri dan dijual kepada orang asing. Sementara, impor adalah barang dan jasa yang dibeli oleh penduduk suatu negara, di mana barang dan jasa tersebut dibuat di luar negeri.
Namun, ada celah yang menyebabkan penghitungan neraca perdagangan menjadi tidak akurat. Salah satunya adalah perdagangan gelap. Pasalnya, dalam perdagangan gelap, beberapa kegiatan transaksi tersebut hanya tercatat di satu negara (yang mengekspor atau yang mengimpor), sedangkan negara lainnya tidak. Alhasil, akumulasi dari seluruh neraca perdagangan dunia menjadi tidak seimbang.
Surplus vs Defisit
Dalam neraca perdagangan, surplus tidak selamanya baik, begitu juga defisit yang tidak selamanya menunjukkan tanda bahaya terhadap perekonomian.
Neraca perdagangan yang surplus akan sangat dibutuhkan ketika perekonomian berada dalam fase resesi. Pasalnya, dalam keadaan tersebut, surplus perdagangan akan membantu dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan permintaan atas suatu barang dan jasa.
Sedangkan, defisit perdagangan akan sangat dibutuhkan ketika ekonomi suatu negara dalam keadaan ekspansi. Karena, di saat seperti itulah jumlah barang yang diimpor akan semakin banyak, namun harga tetap rendah karena banyaknya persaingan usaha.
Sumber : https://kamus.tokopedia.com/n/neraca-perdagangan/
Inilah hebatnya menjadi trader, karena kita bekerja untuk diri sendiri tanpa menjadi karyawan selamanya. Namun untuk mencapai itu semua harus memiliki manajemen risiko (risk management), manajemen uang (money management), psikologi trader (Trading Psychology).
Setelah memiliki ketiga hal ini menjadikan kita bisa lebih paham bahwa pentingnya waktu trading, jumlah uang yang diinvestasikan dan kemungkinan keuntungan dan resiko yang bisa di tanggung sehingga akhirnya kita mendapatkan keuntungan di atas rata-rata return pasaran (beat the market). Ketika kita sudah mencapai hal diatas barulah kita dapat dikatakan berhasil menjadi trader daan itulah saatnya apakah kita bisa memutuskan untuk full trader.
Untuk bisa membandingkan keuntungan di atas rata-rata return pasaran (beat the market) kita dapat membandingkannya dengan IHSG ataupun S&P 500 maupun IDX30 yang lagi trend belakangan ini.
Oleh karena itu Trading is a Lonely Business jadi kita tidak membandingkan diri kita dengan trader lainnya dan terganggung dengan komentar orang lain, karena yang dibutuhkan didalam trading adalah ketenangan di dalam bertransaksi, bukan mendengarkan ocehan orang yang membuat racun di dalam setiap keputusan kita bertransaksi untuk mendapatkan keuntungan.
Janganlah mengambil keputusan bertansaksi tanpa mendapatkan konfirmasi dari system yang sudah dipatuhi hanya untuk sekedar mengejar mimpi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, karena untuk menuju kesuksesan di dalam trading disiplin akan system transaksi adalah syarat utama untuk konsisten memperoleh keuntungan.
Tidak ada artinya melakukan trading sepanjang waktu karena tujuan kita adalah investasi bukan berspekulasi.
Bukanlah sesuatu yang mudah untuk menjadi seorang warrior atau pejuang, tapi apabila menjadi seorang worrier atau penakut/selalu khawatir tentu siapapun tidak ada yang mau.
Tapi di dalam trading tentu ini bukanlah mudah dilaksanakan, hal ini disebabkan kita menghadapi ribuan trader dan broker yang jauh lebih handal, mahir dan professional yang kita hadapi dengan teknik yang beribu-ribu macam gaya trading baik secara fundamental maupun teknikal. Kita seakan berada di lautan luas yang penuh tantangan.
Namun seperti halnya seorang nelayan yang melakukan pekerjaannya dengan penuh ketekunan, tentunya ketakutan itu akan hilaang menjadi harapan untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan yang besar maupun banyak. Tentunya apabila nelayannya takut lebih jauh ke tengah lautan mana bisa tentunya sang nelayan mendapatkan ikan yang banyak dan besar.
Seperti itulah seorang trader apabila untuk menjadi handal dan menghilangkan ketakutan menjadi seorang trader tentulah diperlukan keberanian serta membuang semua kekuatiran dan ketakutan dengan cara berani terjun untuk mencoba dan mencoba. Belajar lagi dan lagi, sehingga akhirnya menjadi mahir, tidak ada satupun yang terjun ke dunia trading yang saya jumpai mengatakan bahwa ini adalah tempat cepat memperoleh uang yang banyak. Lebih banyak yang mengatakan sulit dan susah dan tidak sedikit yang gagal…gagal…gagal lagi. Bagi mereka yang tidak takut gagal dan terus belajar pada akhirnya akan berhasil dan menikmati hasil yang tidak sedikit untuk menjadi trader. Pelajari instrument yang biasanya terus berulang dari tahun ke tahun untuk berinvestasi mulai dari Saham, Properti, Forex (USD), Emas (Gold), dan yang terbaru meta maupun uang digital (Crypto). Instrumen ini akan selalu silih berganti akan menjadi pilihan instrument untuk investasi, dan selalu berulang-ulang. Jadi janganlah takut menjadi trader.
Kalau menurut Anda tulisan ini bermanfaat beri dukungan dengan membeli produk di blinstore kita.
PT Perorangan adalah Seseorang yang hendak mendirikan Badan Hukum Perorangan dengan memenuhi persyaratan sebagai Usaha Mikro dan Kecil (UMKM) sesuai peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil”.
Tujuan mendirikan PT Perorangan tentunya mendapatkan pengakuan dari negara dan legalitas usaha kita. Para pelaku usaha UMKM sebaiknya segera mengatur legalitas usahanya agar menjadi usaha berbentuk PT Perorangan sehingga layak memiliki legalitas secara hukum.
Sebagai salah satu pelaku UMKM yang baru kami juga telah membuat PT Perorangan, namun di karenakan biaya yang mahal untuk membuat legalitas bagi pemula seperti kami memberanikan diri membantu rekan-rekan UMKM untuk mempergunakan jasa dan pengalaman kami pribadi.
Adapun yang bisa kami tawarkan untuk para pelaku UMKM antara lain : Pendirian PT Perorangan UMKM berupa Pengecekkan Nama PT, Sertifikat Pendaftaran Pendirian PT Perorangan, Surat Pernyataan Pendirian PT Perorangan, Kartu NPWP perusahaan, Nomor Induk Berusaha (NIB) ditambah Bonus : Mobile Website, terdapat di playstore, account (IG, FB, Tiktok, Canva), Free hosting dan domain setahun.
Mengapa perlu Account (IG, FB, Tiktok, Canva).
Saat ini media sosial sangat penting untuk promosi PT Perorangan, jadi kami memberikannya dan akan terus membantu di dalam hal promosi untuk usaha Anda.
Ayo dukung kami dengan membeli produk PT Perorangan kami disini
Perkenalkan, nama saya Willy. Sebelum aktif di blog ini, saya sudah lama berpartisipasi dalam blog Terus Belajar Saham yang dikelola oleh rekan Iyan dan terutama sekali sebagai masukan bagi saya juga sebagai pemain di saham, reksadana, dan Forex. Saat ini saya akan mengulas buku Intelligent Investor karya Benjamin Graham. Saya akan mengacu kepada Intelligent Investor milik saya yang Fourth Revised Edition dari Harper Business Essentials. Jika para rekan tertarik mencari Intelligent Investor yang versi Indonesia-nya, silakan pesan di penerbit Serambi penerbit Pijar Nalar atau toko buku Gramedia terdekat.
Karena buku Intelligent Investor sangat tebal dan sarat dengan nasihat investasi yang bermutu dari Benjamin Graham dan Jason Zweig, ulasan akan saya bagi bab per bab. Ulasan saya akan fokus kepada bab Intro dan 20 bab utama buku tersebut. Saya tidak akan menggali terlalu dalam, tetapi saya akan berusaha membuat ulasan tersebut sesederhana mungkin yang mudah dimengerti dalam bahasa kaum awam. Jika rekan-rekan benar-benar ingin langsung mengerti apa hal yang paling penting dari buku Intelligent Investor, saya menyarankan untuk langsung membaca bab 8 (tentang Tuan Pasar), bab 20 (tentang Marjin Aman), dan bagian epilog (tentang para Superinvestor dari Graham-and-Doddsville).
Harap diingat bahwa baik saya maupun rekan Iyan sama sekali tidak menelan mentah-mentah apa yang dianjurkan oleh Benjamin Graham dalam buku ini. Kami memiliki gaya investasi masing-masing yang sesuai dengan karakter kami pribadi, dan kami berharap para rekan disini juga mau terus belajar dan berkembang sampai bisa mencapai pencerahan pribadi akan gaya investasi yang paling cocok dengan karakter pribadi masing-masing. Walaupun demikian, harus diakui bahwa Graham telah membangun salah satu sistem investasi yang paling berhasil saat ini, yaitu Value Investing.
Value Investing dan analoginya di dunia nyata Source: ‘Kontan.co.id’
Investor saham tersukses di dunia (Warren Buffet) dan juga investor saham tersukses di Indonesia (Lo Kheng Hong) saat ini bahkan mengakui bahwa dasar investasi mereka adalah buku Intelligent Investor dari Benjamin Graham. Tidak peduli seperti apa pun gaya investasi anda, ada baiknya buku Intelligent Investor menjadi salah satu referensi yang paling penting jika para rekan benar-benar ingin serius bermain saham. Minimal buku ini dapat menjelaskan cara berpikir para value investor dalam menganalisis pasar saham yang kadang-kadang memang rada aneh.
Baik Value Investing maupun market terkadang memang rada aneh…. Source: ‘Kontan.co.id’
Ok? Beberapa tokoh penting di buku ini adalah:
Benjamin Graham. The Father of Value Investing. Intelligent Investor adalah karya terbesarnya dan Graham menulis buku ini setelah mengalami sendiri salah satu krismon terbesar dalam sejarah Amerika yaitu the Great Depression pada 1929. Warren Buffet sempat belajar dan magang langsung di bawah Graham, tetapi Buffet kemudian membangun sistem main saham pribadi yang berbeda dengan Graham.
Jason Zweig. Kolumnis dari beberapa harian di Wall Street ini memberikan sentuhan modern pada buku Intelligent Investor cetakan terbaru. Zweig banyak memberikan perumpamaan yang rada serius tapi santai -dan seringkali kocak!- pada bagian komentar dan footnote, dan terutama sekali bagaimana ide Graham diterapkan ketika pemain saham Amerika mengalami langsung ketamakan dan kepanikan yang berlebih-lebihan pada saat dotcom bubble and burst tahun 1990-2000.
Warren Buffet. Salah satu orang terkaya di dunia pada zamannya. Buffet sebenarnya hanya muncul di bagian kata pengantar dan appendix, tetapi pendapat beliau akan ide Graham layak juga dibaca untuk lebih mengerti cara berpikir Graham sebagaimana yang ditafsirkan Buffet dan mengapa Buffet menolak mentah-mentah hipotesis pasar yang efisien. Saya pribadi setuju dengan Buffet untuk yang satu ini bahwa pasar memang –secara umum- tidak efisien.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari bagian Pre-Introduction, dan mengacu pada bagian Introduction, hal 1 – 17.
Pertama-tama, yang dimaksud intelijen dari ‘intelligent investor’ disini apa ya? Apa harus punya IQ super tinggi macam anak-anak jenius juara Olimpiade Fisika asuhan Prof. Yohanes Surya? Atau harus punya gelar Doktor dulu di bidang matematika, akuntansi, ekonomi, business-management, aktuaria, maupun finance? Atau harus jadi pengusaha papan atas selevel Bob Sadino atau James Riady dulu untuk otomatis intelijen sebagai investor? Bukan, bukan, bukan!! Saya pernah diskusi hal ini bersama rekan Iyan. Kami berdua sepakat bahwa jika anda sudah bisa menguasai hitung-hitungan sederhana tingkat SD (tambah, kurang, kali, bagi, dan selevelnya) saja, level kepandaian anda sebenarnya sudah sangat cukup untuk bermain saham. Selebihnya ya adalah masalah karakter. Hal-hal seperti sabar, disiplin, pengendalian diri, kerendahan hati untuk mengaku salah dan kalah, kemauan keras untuk terus belajar, sampai akal sehat. Apa para rekan tahu bahwa Dahlan Iskan, pengusaha nasional dan pejabat papan atas di negeri tercinta kita ini, juga pernah kalah besar dalam main saham sampai-sampai beliau kapok dan tidak mau main saham lagi sekarang? Apa para rekan tahu bahwa Isaac Newton, salah satu fisikawan terbesar dalam sejarah umat manusia, pernah merugi bermilyar-milyar ketika saham South Sea yang beliau pegang ambruk nilainya sampai-sampai Newton akan mengamuk jika ada yang berani-berani menyebut South Sea setelahnya? Apa para rekan tahu bahwa pada tahun 1990-an, dua peraih Nobel ekonomi Merton dan Scholes pernah memimpin satu regu pasukan elite jenius lulusan universitas terbaik dunia seperti MIT, Harvard, Caltech, dsb dalam perusahaan investasi baru Long-Term Capital Management? Awalnya para jenius ini berhasil mencetak hasil yang luar biasa, namun hal itu tidak bertahan lama. Ketika krisis finansial 1998 datang, Long-Term merugi habis-habisan sampai-sampai Merton dan Scholes beserta anak-anak jenius bawahannya disumpahi banyak orang karena teori ekonomi mereka sama sekali tidak berkutik menghadapi ujian di dunia nyata! Satu hal penting lainnya yang ingin Graham tekankan disini adalah market (pasar) memang rada susah diprediksi. Ada banyak contoh dari bursa saham Amerika di bagian ini yang layak dibaca, tetapi saya rasa akan lebih baik lagi jika kita renungkan beberapa contoh yang lebih dekat dengan
IDX (Indonesian Stock Exchange) – Bursa Efek Indonesia
Apa para rekan bisa memprediksi kalau tahun 1998 kita akan mengalami salah satu krismon terbesar dalam sejarah Indonesia? Saya pribadi samar-samar ingat ada pakar ekonomi yang dengan pongahnya berkoar-koar ‘potong leher saya kalau dolar tembus 5000 rupiah!’ Nyatanya nilai tukar rupiah anjlok sampai ke level 16000 rupiah per 1 dolar, dan saya tidak ingat ada pakar ekonomi yang kehilangan kepalanya secara sukarela. Malah saking hebatnya krismon Indonesia waktu itu, Pak Harto yang sudah 32 tahun memimpin bangsa ini sampai-sampai harus rela turun tahta dan berakhirlah era Orde Baru di Indonesia!
Saat-saat terakhir kepemimpinan Pak Harto
Atau bagaimana dengan krisis ekonomi 2008 yang juga terkait dengan subprime mortgage crisis di Amerika? Sepanjang tahun 2007, para pemain saham di Indonesia bisa dibilang semuanya berpesta pora dan menari-nari karena pasar saham kita terus mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Belum lagi harga batu bara yang terus melonjak di pasar dunia sehingga siapa pun merasa bisa langsung kaya jika memegang saham perusahaan batu bara, walaupun perusahaannya sendiri banyak yang tidak jelas fundamentalnya.
Tiba-tiba saja pada tahun 2008, bursa saham kita anjlok sampai 50% lebih, dan banyak pemain saham yang langsung jatuh miskin karena kelewat yakin kalau harga saham akan terus naik dan naik dan tidak akan pernah turun. Ini juga diperparah dengan jatuhnya harga batu bara di pasar dunia. Ada saham yang dengan ekstrim turun sampai 80% – 90% lebih dari harga tertingginya, dan banyak sekali pemain saham yang depresi –malah konon ada yang sampai bunuh diri- karena tidak kuat menerima kenyataan bahwa semua keuntungan yang sudah terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya lenyap dalam sekejap!
Nah, di buku Intelligent Investor, Graham dan Zwaig juga memberikan banyak contoh dari pasar saham Amerika. Sepanjang abad ke-20, pasar saham selalu naik turun tidak karuan. Terkadang karena alasan yang jelas, dan terkadang juga untuk alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Karena alasan itulah Graham berpendapat bahwa investor yang baik sebaiknya tidak membuang-buang waktu dengan mencari timing keluar-masuk pasar pada saat yang tepat. Lebih baik kita fokus saja dengan mengevaluasi langsung bagaimana pricing bisnis di belakang saham tersebut. Apakah kita akan selalu berhasil investasinya, Graham tidak memberikan jaminan. Namun Graham percaya jika kita memegang prinsip ini dengan teguh, kita akan menang dalam jangka panjang. Dan inilah yang mendasari pemikiran Graham akan Value Investing!
Tidak seperti buku investasi umum yang sampulnya selalu dipenuhi janji-janji gombal seperti ‘cepat kaya tanpa kerja’ atau ‘cuan 1 milyar dalam 1 bulan’, Graham malah dengan jujur mengakui tidak ada jalan yang mudah dan pasti untuk menjadi kaya dari pasar modal. Pada beberapa bab ke depan, Graham akan fokus kepada beberapa hal penting seperti:
Bagaimana meminimalkan peluang merugi yang berlebih-lebihan
Bagaimana memaksimalkan peluang investasi yang terus bertahan dalam jangka panjang
Bagaimana mengendalikan tingkah laku kita sebagai investor yang bisa jadi terus menyabot investasi kita baik secara langsung maupun tak langsung
Dengan kata lain, moral pada bagian introduksi ini sebenarnya sederhana saja. Satu-satunya pertempuran yang harus kita menangkan adalah pertempuran melawan diri kita sendiri. Ulasan berikutnya adalah Bab I: Investment Versus Speculation, hal 18 – 46.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari bagian Introduction, dan mengacu pada Bab 1: Investment versus Speculation, hal 18 – 46. Graham tidak membuang-buang waktu pada bab ini. Straight to point, langsung dengan memberikan definisi yang jelas akan investasi:“An investment operation is one which, upon thorough analysis promises safety of principal and an adequate return. Operations not meeting these requirements are speculative.” Jika ini masih membingungkan rekan-rekan sekalian, Zwaig mencoba memberikan penjelasan lebih jauh lagi mengenai ide investasi Graham, yaitu:
kita harus benar-benar menganalisis suatu perusahaan dan kemantapan bisnis yang dikerjakan perusahaan tersebut sebelum membeli sahamnya;
kita harus bersungguh-sungguh melindungi diri dari kerugian yang fatal;
kita berharap mencetak hasil yang secukupnya, dan tidak berlebih-lebihan.
Sebelum kita lanjut akan hal ini, harap para rekan ingat bahwa secara umum investor gaya apa pun tidak masalah menerima penjelasan ke-1 dan ke-2 dari Zwaig. Hanya saja, penjelasan ke-3 adalah yang paling membedakan Value Investor dari investor gaya lainnya seperti Growth Investor macam Phil Fisher atau William O’Neil atau bahkan Peter Lynch ketika beliau membahas saham tipe fast-growth atau turnaround. Jadi jangan heran jika track record seorang Value Investor terlihat membosankan dari waktu ke waktu, karena mereka memang lebih menekankan konsistensi daripada return yang tinggi! Jika para rekan tidak percaya, silakan cek situs Berkshire Hathaway, perusahaan investasi milik Warren Buffet. Ingat, beliau adalah murid Graham yang terbaik dan secara umum masih banyak gaya investasi Graham yang Buffet terapkan sampai sekarang. Bisa anda tebak berapa return investasi Buffet setiap tahunnya sampai beliau bisa menjadi orang terkaya di dunia? 100%?? 1000%???
Percaya atau tidak, rata-rata annual return Buffet dari tahun 1965 – 2012 adalah 19.7% saja (!) Sebagai bayangan seberapa kecilnya persentase return dari investasi Buffet setiap tahun, coba bayangkan membuka usaha dengan modal 1 juta rupiah (Rp 1.000.000,-) pada awal Januari, dan ketika akhir Desember pada tahun yang sama para rekan hanya berhasil membukukan laba sebesar 197 ribu rupiah (Rp 197.000,-) saja! “Kalau begitu mengapa Buffet bisa menjadi orang terkaya di dunia??” Tanya anda dengan napas tersengal-sengal setengah tidak percaya seperti orang yang baru tersambar petir di siang bolong. Ada beberapa alasan yang jarang dibahas, tetapi sangat signifikan menurut hemat saya.
Pertama, Buffet adalah pebisnis yang cerdik dan memiliki modal awal yang banyak. Dan pas saya bilang banyak, maksud saya itu sangat amat banyak sekali! Modal investasi Buffet kebanyakan berasal dari dana nasabah yang masuk melalui sektor asuransi di Berkshire Hathaway. Walaupun return tahunan hanya 19.7%, tetap saja hasilnya akan sangat banyak jika modal awalnya 100 trilyun misalnya.
Yang kedua, Buffet adalah orang yang hidup sederhana. Tidak seperti taipan Donald Trump yang sangat flamboyan sebagai contoh, Buffet adalah contoh klasik dari orang yang menjadi kaya dengan sukses dari berbisnis tetapi tidak menghambur-hamburkan uangnya untuk hal-hal yang kelewat materialistis. Bukan saja Buffet tidak menghambur-hamburkan keuntungan perusahaan Berkshire Hathaway, Buffet bisa dibilang menginvestasikan lagi nyaris semua keuntungannya dengan membeli lagi saham perusahaan yang telah dia teliti dengan baik. Dan dengan begitu, keajaiban compound interest (bunga berbunga) akan bekerja dengan luar biasa pada portofolio Buffet!
Dan terakhir, konsistensi! Sebagai bukti konsistensi Buffet dalam berinvestasi, perhatikan bahwa Buffet hanya merugi selama 2 tahun (saja!) sepanjang tahun 1965 sampai 2012, yaitu pada krismon besar tahun 2001 setelah dotcom bubble pecah beserta serangan teroris 9/11 di kota New York dan 2008 dimana terjadi sub-prime mortgage crisis di Amerika. Dan bahkan ketika Buffet merugi pun, kerugian beliau masih relatif jauh lebih kecil daripada anjloknya indeks S&P 500 pada tahun yang sama. Ingat apa yang Graham tekankan pada bagian Introduction. Kita (Value Investor) akan menang dalam jangka panjang! Saya pribadi setuju -selain penjelasan yang ke-3 dari Zwaig di atas- bahwa definisi investasi dari Graham ini adalah definisi investasi yang paling masuk akal setelah membandingkan beberapa gaya investasi selain value investing. Artinya, tidak peduli gaya investasi para rekan mau ala Graham, Buffet, Fisher, Lynch, O’Neil atau siapa pun juga, seorang investor sejati tidak pernah boleh lupa untuk ‘mengerjakan PR’ dulu sebelum menanamkan uang di situ! Jika para rekan tidak mau ‘mengerjakan PR’, maka anda tidak layak disebut sebagai seorang investor. Anda hanyalah seorang spekulan, dan sungguh satu kesalahan fatal mengganggap diri sendiri sedang berinvestasi jika ternyata yang para rekan lakukan adalah spekulasi.
Investasi atau spekulasi?
Saya pernah berdebat sama seorang teman mengenai hal ini karena teman saya tidak setuju ketika saya menyebut apa yang dia lakukan sebagai spekulasi setelah membeli properti di Jakarta untuk ‘investasi’ hanya dengan mengikuti iklan di pinggir jalan! Harap diingat, sebagai Intelligent Investor bukan berarti kita dilarang untuk berspekulasi. Justru sebaliknya! Graham malahan mengakui ada spekulasi yang cerdas, ‘Intelligent Speculation’, dan Zwaig juga mengingatkan bahwa perusahaan-perusahaan baru dan inovatif hanya akan tumbuh jika mereka mendapatkan modal yang cukup dari para spekulan yang pemberani.
Yang membuat Graham gemas adalah ketika orang mencoba menipu diri sendiri dengan mengaku-ngaku sedang berinvestasi, padahal yang dilakukan adalah spekulasi. Itu berarti jika para rekan membeli emas, properti, saham atau apa pun juga karena percaya omongan orang, sekedar termakan iklan, dengar-dengar di TV/koran/forum internet kalau yang ini atau yang itu akan naik, maka para rekan telah berspekulasi dan bukan berinvestasi.
Emas, properti, dan saham sebagai wadah ‘investasi’ populer di Indonesia. Source: ‘Kontan.co.id’
Untuk main saham misalnya. Mari jawab dengan jujur, berapa banyak dari para rekan disini yang sudah pernah membaca laporan keuangan suatu perusahaan sebelum membeli sahamnya? Apakah kita telah jujur pada diri kita sendiri? Apakah kita benar-benar sedang melakukan investasi sebagaimana yang didefinisikan oleh Graham, ataukah kita sedang menipu diri sendiri padahal yang kita lakukan sesungguhnya adalah spekulasi? Marilah kita bersama-sama merenungkan pertanyaan itu setiap kali kita akan mengambil keputusan investasi apa pun.
Jadi apa pesan moral bab ini? Sederhana saja. Seorang Intelligent Investor sejati tidak akan pernah berinvestasi tanpa mengetahui apa yang akan dia beli! Pelajari baik-baik sebelum mengambil keputusan investasi. Spekulasi itu tidak salah, tetapi jangan pernah menipu diri sendiri bahwa apa yang para rekan lakukan adalah investasi jika pada kenyataannya apa yang para rekan lakukan hanyalah spekulasi belaka, apalagi sampai mempertaruhkan uang yang sebenarnya para rekan tidak siap kehilangan jika ternyata spekulasi tersebut tidak berhasil.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 1, dan mengacu pada Bab 2: The Investor & Inflation, hal 47 – 64. Harga daging sapi melonjak! Harga BBM melonjak! Inflasi lebih tinggi dari prediksi pemerintah, APBN akan direvisi!
Rasanya hampir setiap hari kita dibombardir dengan berita-berita seperti ini. Dan secara umum dari waktu ke waktu uang yang kita pegang memang sepertinya semakin melemah saja nilai tukarnya. Saya ingat pas masih SD dulu naik bus kota sebagai pelajar bisa bayar dengan 100 perak saja. Sekarang? 1000 rupiah! Lalu saya juga ingat pas tahun ’80-an, punya uang 20 ribu rupiah bisa sudah sepuas-puasnya jalan-jalan ke Mal, makan ayam goreng lezat di Kentucky, nonton bioskop dulu sebelum pulang, lalu tinggal cari taksi Blue Bird yang nyaman diantar sampai ke rumah. Sekarang? Yah, paling tidak mesti siap 100 ribu rupiah, itu pun sudah ketar-ketir apakah masih ada cukup ongkos buat naik bis dan ojek pulang!
Berdasarkan fakta yang pahit inilah, seorang Intelligent Investor mau tidak mau harus memasukkan faktor inflasi dalam pertimbangan investasinya. Jika ada satu dan hanya satu alasan utama mengapa kita harus berinvestasi, inflasi adalah jawabannya. Nilai uang akan terus fluktuatif dari waktu ke waktu, dan kecenderungannya adalah mengarah turun (atau dengan kata lain, harga-harga selalu cenderung mengarah naik)!
Itulah sebabnya saya tidak setuju dengan pepatah ‘menabung’ pangkal kaya. Omong kosong dan ngawur! ‘Menabung’ itu sebenarnya pangkal miskin, karena uang yang kita simpan akan terus-menerus digerogoti nilainya oleh inflasi! Coba bayangkan seandainya saya menyimpan 20 ribu rupiah di celengan saya dari tahun ’80-an sampai sekarang. Ingat contoh yang di atas tadi. Lebih enak mana, belanja dengan uang 20 ribu pas tahun 1980-an atau dengan uang 20 ribu pas tahun 2013?
Menabung pangkal… miskin?? Source: ‘Koran Kontan’
Pepatah usang di atas seharusnya diganti. Menabung ‘Investasi’ pangkal kaya. Nah, sekarang sudah semakin jelas kan? Investasi yang berhasil adalah investasi yang nilai kenaikannya mampu mengalahkan inflasi. Nah, pada bab ini, Graham memberikan pandangan-pandangan yang menarik akan investasi versus inflasi. Graham memulainya dengan jujur mengakui tidak ada investasi yang bisa memberikan hedging (perlindungan) penuh terhadap investasi. Memang investasi pada saham seringkali memberikan return yang lebih tinggi daripada persentase nilai inflasi, tetapi itu bukanlah hal yang mutlak selalu terjadi.
Zwaig lebih jauh lagi memberikan contoh dari fluktuasi harga saham di Amerika antara tahun 1926 – 2012. Walaupun data Zwaig menunjukkan bahwa saham seringkali memberikan return di atas inflasi, ternyata tetap ada saat-saatnya saham gagal mengikuti laju inflasi, misalnya ketika terjadi deflasi (inflasi negatif, hal ini juga berbahaya karena berpotensi memicu kelesuan ekonomi yang berkepanjangan ketika orang lebih suka memegang uang tunai daripada melakukan konsumsi atau investasi, misalnya di Jepang yang dimulai pada periode 1990-an, sampai-sampai dekade tersebut dikenal sebagai Japan’s Lost Decade dan beberapa pakar berpendapat bahwa Jepang belum sepenuhnya keluar dari resesi sampai 20 tahun kemudian!) atau ketika laju inflasi kelewat tinggi.
Harapan terbaik kita disini adalah menerima bahwa pasar saham bergerak seperti roller coaster. Akan ada saatnya kita menangis ketika return kita jatuh di bawah inflasi, dan ada juga saatnya kita tertawa ketika return kita berhasil mengalahkan inflasi. Untuk kasus dimana harga saham gagal mengikuti laju inflasi di Indonesia, silakan para rekan ingat lagi krisis 2008. Periode itu adalah saat-saat neraka bagi para pemain saham ketika inflasi menembus angka 11% pada akhir 2008, sedangkan IHSG malah anjlok sampai terpangkas 50% lebih pada tahun yang sama. Selain saham, Graham dengan gamblang juga memberikan beberapa kemungkinan wadah investasi selain saham, yaitu obligasi, emas dan real estate beserta untung-ruginya sejauh yang beliau ketahui sebatas pengetahuannya. Mengenai hal ini, Graham tetap kukuh pada pendiriannya, yaitu tetap saja tidak ada wadah investasi yang bisa memberikan jaminan pasti akan selalu bisa mengalahkan inflasi. Kalau begitu apa yang bisa investor lakukan? Nah, salah satu jalan keluar yang Graham sarankan diversifikasi. Jangan pernah menaruh semua uang pada satu wadah investasi tertentu, tetapi sebaiknya disebar. Dan kalau pun investasi kita akan didiversifikasi, selalu pastikan bahwa kita sudah memahami betul-betul wadah investasi tersebut sebelum menaruh uang kita disitu. Masih ingat apa yang Graham utarakan pada bab sebelumnya tentang investasi versus spekulasi?
Jadi apa pesan moral dari bab ini? Inflasi akan selalu terjadi, dan itu akan selalu mengingatkan kita bahwa uang kita selalu akan menurun nilainya dari waktu ke waktu. Cepat atau lambat, rupiah pada hari esok tidak akan bisa membeli barang dan jasa sebanyak rupiah pada hari kini. Itulah sebabnya kita melakukan investasi. Walaupun investasi kita tidak selalu akan bisa mengalahkan inflasi setiap saat, dalam jangka panjang investasi yang baik akan bisa memberikan return yang berada di atas laju inflasi. Ulasan berikutnya adalah Bab 3: A Century of Stock-Market History, hal 65 – 87.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 2, dan mengacu pada Bab 3: A Century of Stock-Market History, hal 65 – 87.
Bab ini mungkin terlihat rada aneh. Mengapa kita harus membaca ulasan pasar saham selama satu abad sebelumnya? Mengapa kita tidak langsung saja menganalisis pasar saham pada kondisi saat ini juga sekarang juga?
Jawabannya sederhana saja. Apa saja yang kita ketahui tentang pasar saham saat ini berasal dari data masa lampau! Apakah IHSG akan melonjak begitu harga komoditas dunia melonjak? Data masa lampau! Apakah IHSG akan jatuh kalau the Fed mengubah kebijakan Quantitative Easing? Data masa lampau! Apakah IHSG akan begini dan begitu jika yang ini atau yang itu terjadi? Data masa lampau!
Learn from the past. Live in the present. Believe in the future. Source: Siamckye.blogspot.com
Pada bab ini, Graham memberikan kupasan yang rinci akan sejarah pasar saham Amerika selama satu abad dari pertengahan abad ke-19 sampai tahun 1972. Saya tidak akan membahas dengan rinci apa yang Graham jabarkan pada bab ini, silakan para rekan baca sendiri. Tetapi saya ingin menekankan betapa pentingnya dinamika pasar yang terjadi dari tahun ke tahun dan apa kesimpulan penting yang diambil oleh Graham dan Zwaig. Perlahan-lahan Graham membeberkan siklus banteng dan beruang pada pasar saham Amerika dari tahun ke tahun dan bagaimana siklus ini memberikan petunjuk akan dinamika pasar saham pada tahun 1972. Belakangan Zwaig lebih jauh lagi memperluas ulasan Graham sampai pada pasar saham saat dotcom bubble and burst tahun 1999 dan 2000. Ternyata hasilnya tidak berbeda jauh. Ada saat-saatnya pasar saham di atas, dan ada juga saatnya pasar saham terhempas.
Satu hal penting yang Graham tekankan pada bab ini adalah agar jangan pernah sampai berhutang (atau dalam istilah populer sekarang, memakai margin) untuk berinvestasi, dan selalu ingat pentingnya diversifikasi (masih ingat himbauan Graham akan diversifikasi pada bab sebelumnya?) pada portofolio investasi para Intelligent Investor. Lebih eksplisit lagi, Graham menekankan agar cukup separuh portofolio saja yang mencakup saham. Selebihnya ya disebar pada wadah investasi lainnya (emas, properti, obligasi, dll).
Himbauan Graham ini mungkin mengagetkan sebagian para rekan. “Graham bagaimana sih? Bukannya buku Intelligent Investor fokus untuk main saham secara intelijen? Mengapa Graham malah seakan-akan ingin kita tidak benar-benar serius bermain saham? Sampai-sampai melarang-larang pakai margin segala??” Begini, jangan lupa kalau Graham sudah mengalami sendiri pahitnya krismon besar The Great Depression pada 1929, dan beliau kehilangan –bisa dibilang- seluruh investasinya. Pukulan telak ini seterusnya berbekas pada cara berpikir Graham yang konservatif dan bagaimana caranya bertahan main saham dengan kerugian yang seminimal mungkin. Sepanjang buku Intelligent Investor, Graham akan terus-menerus menekankan betapa pentingnya bagi para investor untuk melindungi modal kita dalam bermain saham.
Murid Graham yang terbaik, Warren Buffet merangkum pandangan Graham dalam 2 nasihat terkenal:
never lose money,
always remember rule 1!
Perhatikan bahwa Buffet tidak berkata ‘always make money’. Ingat juga apa yang Zwaig jabarkan sebagai salah satu ide terpenting investasi Graham: kita harus bersungguh-sungguh melindungi diri dari kerugian yang fatal. Diversifikasi adalah saran yang diberikan Graham pada buku Intelligent Investor, tetapi investor besar lainnya seperti Buffet dan O’Neil juga memiliki cara tersendiri untuk melindungi modal main saham. Saya mengingatkan para rekan untuk tidak terpaku pada pandangan Graham saja dan mencoba membandingkan beberapa gaya investasi yang berbeda sampai mendapatkan cara main saham yang sesuai dengan karakter pribadi masing-masing.
Sebagai penutup bab ini, Zwaig juga mengambil satu kesimpulan penting setelah membaca dinamika pasar saham dari tahun ke tahun selama satu abad lebih. Hanya ada satu hal yang pasti dari masa lampau, yaitu masa depan akan selalu memberi kejutan, selalu! Pasar tanpa ampun akan menghantam mereka yang kelewat percaya diri dalam memprediksi pasar, jadi jangan pernah mengambil risiko berlebihan dalam bermain saham karena kita tetap saja bisa salah.
Walaupun demikian, bagi seorang investor, harapan tidak akan pernah padam walaupun hanya secuil saja. Karena kalau tidak ada lagi harapan, untuk apa lagi kita berinvestasi? Tidak peduli sesuram apa pun situasi yang dialami seorang Intelligent Investor, kita selalu percaya akan ada sesuatu yang menanti kita di masa depan. Ini juga yang telah ditulis Zwaig pada bab sebelumnya, yaitu kita berharap mencetak hasil yang secukupnya, dan tidak berlebih-lebihan.
Pesan moral dari bab ini dirangkum dengan baik oleh Zwaig dengan mengutip percakapan antara G. K. Chesterton, seorang sastrawan Inggris, dengan seorang kritikus yang sinis. Sang kritikus menyindir dengan sinis, “Diberkatilah orang yang tidak berharap apa-apa, karena dia tidak akan pernah merasa kecewa.” Tanggapan Chesterton? “Justru sebaliknya, sobat. Diberkatilah orang yang tidak berharap apa-apa, karena dia akan bersyukur atas segala-galanya.” Ulasan berikutnya adalah Bab 4: General Portfolio Policy: The Defensive Investor, hal 88 – 111.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 3, dan mengacu pada Bab 4: General Portfolio Policy: The Defensive Investor, hal 88 – 111. Sejauh ini kita telah melihat definisi yang jelas dari Graham dan Zwaig tentang seorang Intelligent Investor. Mungkin para rekan mulai bertanya-tanya, apakah seorang Intelligent Investor harus selalu rela mengorbankan waktu dan energinya dalam bermain saham untuk mendapatkan hasil yang secukupnya, tanpa kecuali? Bagaimana jika saya tidak memiliki cukup waktu maupun energi untuk bermain saham, tetapi tetap ingin mendapatkan imbal hasil secukupnya?
Nah, untuk menjawab pertanyaan di atas, Graham membagi dua tipe Intelligent Investor. Pada beberapa bab ke depannya, Graham juga akan membeberkan strategi yang lebih mendalam terkait dengan tipe investor yang lebih cocok dengan gaya rekan-rekan pribadi.
Tipe investor yang pertama adalah investor aktif. Investor tipe ini aktif meneliti kemungkinan investasi-investasi baru dan juga tanpa lelah menginvestasikan waktu dan energi untuk mempelajari portofolio sahamnya. Investor tipe ini juga seringkali dapat memilih saham-saham tertentu yang mampu memberikan imbal hasil di atas rata-rata IHSG pada saat banteng melesat maupun beruang mengamuk.
Tipe investor yang kedua, dan merupakan fokus utama dari bab ini, adalah investor pasif. Investor tipe ini lebih memilih membeli saham sekali saja dan simpan selama mungkin (buy and hold strategy), atau rajin membeli saham pilihannya secara rutin apa pun yang terjadi (dollar-cost averaging strategy). Termasuk pada tipe investor pasif adalah mereka yang berlangganan mutual fund, atau lebih dikenal di Indonesia sebagai reksadana (Graham secara khusus menganjurkan index fund atau reksadana indeks. Hal ini akan dibahas lebih detail pada bab berikutnya). Untuk reksadana saham misalnya, ini bisa kita anggap sebagai koleksi saham-saham berdasarkan kriteria tertentu. Jika kita membeli suatu reksadana saham, kita berarti telah menurunkan risiko rata-rata, karena uang kita tersebar pada seluruh saham yang terdapat pada reksadana tersebut.
Tipe-tipe reksadana di Indonesia. Source: Dr. Keuangan
Apa pun tipe investornya, Graham tetap kukuh pada konsep diversifikasi pada bab sebelumnya. Sebaiknya portofolio investasi dibagi 50% saham dan 50% wadah investasi lainnya. Atau bisa juga sedikit berubah proporsi portofolionya bergantung pilihan pribadi para investor, dengan rekomendasi antara 25% – 75%.
Lebih jauh lagi Zwaig memberikan saran bagaimana sebaiknya rasio portofolio ini para rekan terapkan. Hal-hal yang patut para rekan pertimbangkan seperti tujuan investasinya, seberapa stabil penghasilan rutin anda, apakah anda sudah berkeluarga atau belum, seberapa toleran anda terhadap risiko, dll. Secara umum, semakin mantap kondisi anda pada saat ini dan semakin panjang tujuan investasi para rekan, semakin tinggi proporsi saham yang harus para rekan pertimbangkan pada portofolio pribadi. “Ah, Bung Willy terlalu bertele-tele disini. Mengapa tidak 100% saham saja untuk portofolio investasi saya?”
Yah, saya yakin ada di antara para rekan yang sudah berpikir seperti itu. Ternyata Zwaig sudah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan yang satu ini (saya sedikit adaptasi untuk pemain saham Indonesia). Jika para rekan benar-benar ingin investasi 100% di saham, anda harus dengan mantap:
Punya dana tunai untuk menopang keluarga setidaknya sampai 1 tahun ke depan
Akan terus berinvestasi sampai 20 tahun ke depan
Telah bertahan ketika beruang ganas mengamuk pada krisis 2008
Tidak ikut-ikutan panik melepas saham ketika beruang ganas mengamuk pas krisis 2008
Bukan saja anda tidak panik, anda malahan memborong lebih banyak saham lagi pas krisis 2008
Tidak mudah terjebak kesintingan Tuan Pasar (harap menuju ke Bab 8 untuk tahu lebih banyak tentang Tuan Pasar) dan punya strategi mantap untuk berinvestasi saham pada kondisi apa pun
Ketika beruang ganas lepas di IDX, apakah anda akan ikut-ikutan panik? Source: ‘Kontan.co.id’
Strategi ini memang terdengar konservatif, tetapi ini adalah harga yang harus anda bayar jika ingin nekat investasi 100% portofolio anda di saham. Siapa pun yang panik ketika beruang ganas lepas pada krisis sebelumnya juga tetap akan panik ketika beruang ganas kembali mengamuk. Dan percayalah, anda akan sangat menyesal ketika itu terjadi. Selebihnya bab ini membahas beberapa alternatif selain saham yang patut para rekan pertimbangkan pada portofolio pribadi. Graham terutama sekali memberikan penjelasan ringkas mengenai obligasi baik dari negara maupun perusahaan, beserta untung ruginya. Poin terpenting disini adalah Graham percaya bahwa obligasi sebaiknya bisa menjadi bagian dari portofolio investasi para rekan untuk menjamin diversifikasi. Pembelian obligasi secara langsung biasanya tidaklah mudah karena membutuhkan biaya yang relatif sangat besar, tetapi Zwaig mengingatkan bahwa sekarang kita bisa dengan mudah membeli reksadana yang portofolionya mencakup obligasi.
Di Indonesia misalnya, kita bisa membeli reksadana pendapatan tetap atau reksadana campuran sebagai alternatif yang murah meriah agar portofolio kita tetap terdiversifikasi. Selain obligasi, para rekan juga bisa mempertimbangkan tabungan, deposito, dan reksadana pasar uang sebagai alternatif diversifikasi portofolio investasi seorang Intelligent Investor. Sebagai penutup, Zwaig menjabarkan kemungkinan membeli saham untuk mendapatkan dividen sebagai salah satu cara bermain saham yang konservatif. Beberapa saham di Indonesia dari BUMN atau perusahaan yang sudah mantap perkembangannya tergolong rajin memberi dividen, dan main saham tipe ini sering disebut dengan income investing. Hanya saja harap diingat bahwa dividen umumnya hanya diberikan ketika perusahaan mengalami keuntungan, dan dividen yang dibagikan besarnya bisa naik turun bervariasi setiap tahunnya. Ini tidak cocok bagi investor yang mengharapkan income yang stabil.
Jadi apa pesan moral dari bab ini? Graham memberikan masukan yang sangat berharga terutama sekali bagi para investor pasif, yaitu dengan cara diversifikasi. Dengan strategi yang mantap dan diversifikasi yang cerdas, para investor pasif juga ada harapan untuk mendapatkan imbal hasil yang secukupnya dari portofolionya.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 4, dan mengacu pada Bab 5: The Defensive Investor and Common Stocks, hal 112 – 132. Setelah pada bab sebelumnya Graham memberikan the big picture akan hal-hal yang bisa dilakukan investor pasif dalam melakukan investasi, pada bab ini Graham secara lebih dalam membahas strategi main saham yang bisa dilakukan pleh para investor pasif. Sekali lagi saya ingatkan, Graham memiliki pandangan yang sangat konservatif dalam bermain saham. Apa yang saya kemukakan pada bab ini mungkin akan terdengar keterlaluan, tetapi jika anda memilih menjadi Value Investor pasif, anda tentu harus mau berpikir dan bermain konservatif ala Graham. Secara blak-blakan, Graham melarang investor pasif untuk membeli growth stock. Ini berarti saham-saham fast grower ala Peter Lynch yang harganya dengan cepat terus berlipat ganda sama sekali tidak boleh ada di dalam portofolio seorang investor pasif! WADUH??? Tunggu, tunggu!! Sebelum anda memutuskan untuk merobek-robek atau bahkan membakar buku Intelligent Investor anda pribadi karena nasihat Graham yang sangat keterlaluan ini, Graham juga mengakui –walaupun masih dengan nada yang rada pesimis-, bahwa mungkin saja bagi seorang Intelligent Investor aktif untuk mencetak hasil yang fantastis dari portofolio saham growth-stock. Namun Graham juga mengingatkan bahwa kebanyakan orang tidak akan mau bersusah payah memeras keringat layaknya seorang investor aktif, jadi sebaiknya para rekan berpikir yang realistis saja sebagai seorang investor pasif. Graham secara tersirat menyarankan para investor pasif untuk membatasi diri dengan bermain saham-saham perusahaan yang sudah mapan (bluechip) saja, atau lebih dipertegas lagi oleh Zwaig dengan menyarankan saham-saham bluechip pada Dow Jones Industrial Average di NYSE. Nasihat utama Graham bagi para investor pasif yang ingin bermain saham adalah:
Diversifikasi. Silakan pilih beberapa saham yang berbeda, dan juga selalu melihat kemungkinan investasi saham baru yang potensial. Juga kalau membeli beberapa saham, jangan semuanya dari sektor yang sama. Misalnya begini, jangan sampai portofolio saham anda hanya terdiri dari saham-saham perbankan semuanya macam saham BCA, BRI, Mandiri, BTN, BTPN, Danamon, dll. Kalau begitu cara mainnya, anda pasti celaka begitu sektor perbankan berdarah-darah karena diterkam beruang ganas!
Investasi hanya pada saham-saham perusahaan besar, dikenal banyak orang, dan memiliki keuangan yang sehat. Pilih perusahaan yang sedikit hutangnya dan memiliki kapitalisasi pasar yang besar.
Investasi hanya pada perusahaan yang konsisten membagikan dividen. Ini untuk memastikan ada pemasukan rutin dari saham yang anda simpan.
Sebaiknya saham yang anda pilih memiliki rasio P/E (PER) yang masih rendah dan tidak kelewat mahal. Mahal disini dari segi PER, dan bukan harganya belaka. Saham seharga 10 ribu rupiah bisa saja dinilai lebih murah daripada saham seharga 100 perak karena faktor PER ini.
Bagaimana dengan pasar modal Indonesia? Sayangnya tidak ada indeks yang ekivalen dengan DJIA di Indonesia, tetapi umumnya pemain saham Indonesia setuju bahwa saham-saham di indeks LQ-45 banyak yang tergolong bluechip dan bisa dibilang sedikit banyak memenuhi kriteria konservatif Graham.
Investor pasif bisa dengan mudah berinvestasi dengan membatasi diri dalam memilih saham-saham yang terdapat di indeks LQ-45 saja, dan dengan catatan saham-saham pilihan anda juga memenuhi semua kriteria konservatif yang dianjurkan Graham.
Dengan kata lain, jangan langsung membeli suatu saham hanya karena saham tersebut terdaftar di indeks LQ-45! Anda juga harus sedikit memeras keringat, mencari tahu lebih jauh informasi tambahan tentang perusahaan yang sahamnya ingin anda beli, apakah memenuhi kriteria konservatif Graham atau tidak.
Cara yang termudah untuk melakukan hal itu adalah dengan mengakses situs independen seperti Financial Times atau Reuters, lalu search bagaimana kinerja historis dan data terbaru dari perusahaan yang ingin anda investasikan sahamnya. Sebaiknya para rekan melakukan analisis sederhana ini secara rutin, misalnya setiap 2 minggu sekali, atau setiap 1 bulan sekali, atau paling tidak setiap 3 bulan sekali setelah perusahaan merilis laporan keuangan periode kuartal terbaru kepada publik.
Di sisi lain, setiap 6 bulan sekali yaitu pada bulan Februari dan Agustus, indeks LQ-45 akan diupdate oleh pihak IDX. Investor pasif tidak perlu repot-repot dan panik. Jika selama ini para rekan telah membeli saham dari indeks LQ-45 dan ternyata saham pilihan anda masih terdapat di indeks LQ-45 setelah diupdate, silakan saja teruskan investasi uang anda di saham tersebut. Jika saham pilihan anda terlempar keluar dari indeks LQ-45 –apalagi saham tersebut juga sudah tidak memenuhi kriteria konservatif Graham-, berarti itulah saatnya mengalihkan uang anda dari saham tersebut ke saham lain yang masih bertahan di indeks LQ-45.
Zwaig menutup bab ini dengan menjelaskan alternatif lain bagi investor pasif untuk bermain saham yaitu dengan membeli reksadana saham saja. Dalam hal ini, seorang investor pasif harus tetap mengerjakan PR. Sebelum memutuskan untuk membeli suatu reksadana tertentu, investor pasif harus meneliti dulu apa prospek reksadananya, siapa pengelolalanya, bagaimana track-recordnya, saham apa saja yang termasuk dalam portofolio reksadana tersebut, dan lain-lain.
Satu-satunya pengecualian adalah reksadana indeks (misalnya reksadana indeks LQ-45 yang mengikuti indeks LQ-45) yang tujuannya memang bukan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dari indeks, tetapi benar-benar 100% mengikuti dinamika indeks apa pun yang terjadi. Membeli reksadana indeks adalah cara main saham yang paling aman yang disarankan Graham dan Zwaig bagi investor pasif yang sama sekali tidak ingin-ingin repot-repot menginvestasikan waktu dan energi dalam merencanakan portofolio investasinya. Malahan saking amannya main saham dengan reksadana indeks, saya berani berpendapat kalau kebanyakan pemain saham akan bosan sendiri melihat imbal hasil reksadana indeks mereka hanya biasa-biasa saja dari tahun ke tahun! Yah, itulah harga yang harus anda bayar jika ingin main saham ala Intelligent Investor tetapi tidak mau repot-repot ‘mengerjakan PR’. No pain ya no gain.
Investor pasif juga dapat menerapkan dollar-cost averaging strategy, yaitu berlangganan reksadana secara rutin. Atur saja dengan pihak bank atau perusahaan reksadana agar auto-invest sejumlah tertentu dari tabungan ke reksadana pilihan anda pas tanggal tertentu setiap bulan, misalnya 100 ribu rupiah setiap tanggal 1, atau 500 ribu rupiah setiap tanggal 10, atau 1 juta rupiah setiap tanggal 20 sebagai contoh. Tanpa perlu pusing-pusing, sistem auto-invest ini akan menjamin para rekan membeli lebih sedikit ketika harga saham meroket, tetapi sebaliknya memborong lebih banyak ketika harga saham jatuh. Mudah ya?
Jadi apa pesan moral bab ini? Saya merasa ini cukup jelas bagi para rekan yang memilih menjadi investor pasif. Seorang investor pasif bermain saham dan menang dalam jangka panjang dengan cara-cara yang tidak agresif! Seringkali investor pasif akan membeli lalu menyimpan saham yang telah dia pilih dalam jangka panjang, dan hanya akan menjualnya jika saham tersebut tidak lagi memenuhi kriteria konservatif Graham. Alternatif lainnya, seorang investor pasif tidak akan menghabiskan waktu dan energinya untuk meneliti saham individual secara berlebihan, dan lebih memilih membangun sistem auto-invest yang rutin apa pun yang terjadi. Walaupun terkesan membosankan, cara investasi ini tetap termasuk dalam gaya main saham yang dianjurkan Graham kepada para Intelligent Investor.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 5, dan mengacu pada Bab 6: A Negative Approach to Portfolio Policy for the Enterprising Investor, hal 133 – 154. Mari kita mulai bab ini dengan mengingat-ingat lagi apa yang Graham sarankan kepada investor pasif yang ingin bermain saham. Beli saham-saham bluechip, dan simpan selama mungkin. Sederhana sekali ya? “Bung Willy, saya bersedia meluangkan waktu dan energi untuk benar-benar meneliti portofolio saham saya pribadi. Saya tidak ingin jadi investor pasif. Saya sudah mantap memilih jadi investor aktif!”
Bagus, saya menghormati pilihan anda pribadi. Kedua bab ke depan ini akan membahas cara main saham investor aktif, jadi mohon perhatikan baik-baik. Fokus pada bab ini adalah hal-hal yang TIDAK boleh dilakukan seorang investor aktif menurut Graham, sedangkan bab berikutnya akan membahas strategi main saham seorang Value Investor sejati. Kelihatannya seru juga ya? Lagi-lagi saya ingatkan, Graham adalah seorang investor yang konservatif, dan bisa jadi larangan-larangan beliau di bab ini akan terdengar keterlaluan. Saya pribadi terus mengingatkan para rekan untuk terus mencari gaya main saham yang sesuai dengan karakter pribadi, dan jangan kelewat picik berkoar-koar “cara main saham saya yang paling benar, dan yang tidak setuju itu memang sudah sesat semuanya!” Ok? Ayo kita langsung saja straight to the point. Inilah larangan-larangan Graham dan Zwaig bagi seorang investor aktif:
1) Hindarilah obligasi sampah! Obligasi yang berada di bawah peringkat investasi biasanya memang menarik karena menjanjikan tingkat bunga yang relatif tinggi. Namun jangan lupa kalau risiko gagal bayarnya juga tinggi! Tidak ada tapi-tapian, jika anda ditawari obligasi yang jelas-jelas berada di bawah peringkat investasi, silakan langsung ambil langkah seribu!
2) Hindarilah obligasi asing! Untuk yang satu ini masalahnya lebih terletak pada stabilitas ekonomi suatu bangsa. Mungkin para rekan disini masih ingat trilogi pembangunan zaman Pak Harto? Graham disini menekankan bahayanya melakukan investasi pada negara-negara yang ekonominya naik-turun tidak karuan.
Itulah sebabnya pemerintah Indonesia ketar-ketir ketika ada kemungkinan peringkat investasi Indonesia dari lembaga independen Moody akan di-downgrade, karena hampir bisa dipastikan para investor asing akan menarik dananya keluar dari negeri tercinta ini! Yang paling aman memang membeli obligasi asing dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, tetapi itu juga tidak ada jaminan ekonomi mereka akan terus stabil ke depannya. 3) Hindarilah IPO! Saya ingatkan bahwa IPO sangat kental dengan unsur spekulasi dan bukan investasi, jadi tidak apa tapi-tapian juga. Dalam kamus Graham, sungguh omong-kosong benar jika anda membeli saham pas IPO dengan alasan untuk investasi!
Namun harap diingat juga bahwa Graham tidak pernah melarang kita untuk berspekulasi. Yang Graham tekankan dengan tegas pada Bab 1 sebelumnya adalah agar para rekan jangan pernah menipu diri sendiri dengan menganggap anda sedang melakukan investasi padahal yang anda lakukan adalah spekulasi.
Jika anda masih tertarik ingin main saham pas IPO, rekan Iyan sudah menulis tips-tips praktis yang saya pribadi menilai termasuk taktik spekulasi yang intelijen. Tips-tips tersebut bisa anda baca disini: Cara Main Saham IPO untuk Pemula
4) Hindarilah perusahaan yang doyan menerbitkan HMETD! Walaupun biasanya perusahaan mengemukakan tujuan-tujuan ‘mulia’ seperti menambah modal untuk ekspansi bisnis, atau terkadang untuk tujuan yang ‘tidak benar-benar mulia’ seperti menggunakan dana hasil HMETD untuk membayar hutang (kalau dipikir-pikir kebangetan benar, manajemennya yang bikin hutang dan pemegang saham ritel dari masyarakat awam yang seringkali tidak tahu apa-apa yang diminta bayar!), pada akhirnya kita toh dipaksa secara halus untuk membeli lebih banyak saham jika tidak ingin persentase kepemilikan kita terdilusi!
Itulah sebabnya investor legendaris Lo Kheng Hong sama sekali menolak bermain saham perusahaan yang kerajingan melakukan aksi korporasi macam right issue.
Lo Kheng Hong, Warren Buffet-nya Indonesia Source: ‘cnbcindonesia.com‘
Waspadalah terhadap perusahaan yang manajemennya sering melakukan aksi yang aneh-aneh. Atau dalam kata-kata Lo Kheng Hong pribadi, yang terutama sekali harus diperhatikan sebelum berinvestasi adalah ‘manajemen, manajemen, dan manajemen’ karena ini menyangkut uang kita!
5) Hindarilah daytrading! Ayo kita benar-benar jujur disini. Di dunia ini tidak ada yang dengan investasi bisa mencetak return berpuluh-puluh kali lipat pada hari yang sama. Zwaig malahan terang-terangan berpendapat bahwa tidak ada itu namanya investor yang bermain saham dalam jangka pendek. Seorang investor sejati akan selalu bermain saham dalam jangka panjang.
Selain itu harap dipertimbangkan juga bahwa setiap kali kita melakukan transaksi beli dan jual, ketika itu juga kita membayar komisi kepada broker DAN pajak kepada negara. Dengan kata lain, sebenarnya kita sudah buntung dari awal!
Itulah sebabnya broker akan dengan senang hati terus menerus mengirimkan data analisis dan rekomendasi terbaru kepada para pemain saham tidak peduli segila apa pun kondisi pasar saat ini, karena tentunya mereka berharap para nasabah akan semakin sering melakukan transaksi dan itu berarti juga komisi yang lebih banyak bagi broker!
Walaupun demikian, saya pribadi berpendapat bahwa trading (ingat Bab 1, trading yang spekulatif jelas berbeda dengan investing!) juga bisa memberikan keuntungan konsisten bagi yang sudah mahir bermain sahamnya. Akan tetapi, para pemain saham pemula sebaiknya bermain dengan timeframe Daily ke atas terlebih dahulu. Baru jika sudah konsisten profit, para rekan boleh bermain dengan timeframe yang lebih rendah. Juga jangan pernah melakukan trading dengan margin dan leverage berlebih-lebihan, apalagi jika para rekan sama sekali belum dapat mencetak profit yang konsisten dari main saham. Akhir kata, apa pesan moral dari bab yang penuh larangan ini? Serupa seperti rekannya investor pasif, seorang investor aktif juga sebenarnya tetap memiliki pandangan yang konservatif. Hindari hal-hal yang tidak sesuai dengan cara main saham seorang Value Investor, dan anda akan siap bermain saham aktif ala Graham.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 6, dan mengacu pada Bab 7: The Positive Side to Portfolio Policy for the Enterprising Investor, hal 155 – 187. Bagi para pembaca setia blog ini, anda tentu sudah melihat pola pemikiran Benjamin Graham pribadi. Beliau benar-benar berusaha mengambil risiko yang seminimal mungkin dalam bermain saham, sampai-sampai himbauan beliau pada bab-bab sebelumnya terdengar keterlaluan. “Ah, Bung Willy masih berputar-putar saja disini. Mana strategi investor aktif yang dijanjikan Graham?!?” Tenang, saya selalu menepati janji. Bab ini sepenuhnya membahas strategi yang Graham anjurkan bagi Value Investor yang aktif, dan bersedia mengorbankan lebih banyak waktu dan energinya untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Ada 4 strategi utama yang bisa ditempuh oleh investor aktif: 1) Belilah pas harga sedang anjlok, dan jualah pas harga sudah meroket! Strategi ini sangat bagus di atas kertas, tetapi sering kali rada-rada susah dipraktekkan. Bagaimana kita bisa tahu harga saham saat ini memang sedang anjlok dan di saat lain sudah meroket? Zweig juga memberikan argumen lebih jauh bahwa market timing tidak selalu berhasil, dan akan selalu jauh lebih mudah melihat kapan harga saham terlihat anjlok ataupun meroket jika kita hanya sekedar melihat data masa lalu, tetapi jika untuk harga saham ke masa depan ya ujung-ujungnya kita ‘nebak’. Graham akan memberikan argumentasi yang lebih mendalam akan hal ini pada bab berikutnya.
Walaupun demikian, saya pribadi percaya ada solusi untuk yang satu ini, yaitu dengan menggunakan analisis teknikal. Ketika Graham menulis buku ‘Intelligent Investor’, analisis teknikal belum begitu berkembang dan tidak banyak dipakai. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana analisis teknikal sudah berkembang sangat pesat, dan bisa dipelajari oleh masyarakat awam secara luas.
Hanya saja harap para rekan berhati-hati. Ada banyak sekali kombinasi aplikasi analisis teknikal, dan pengalaman saya pribadi menunjukkan bahwa semakin rumit analisis teknikal yang digunakan, justru semakin tidak akurat dan membingungkan sinyal-sinyal keluar masuk pasar yang diberikan.
2) Belilah Growth Stock pada harga yang ‘masuk akal’! Nah, sekarang ini baru seru. Tentu kita semua sangat senang jika saham-saham di portofolio kita terus meroket harganya, jadi apa anjuran utama Graham di sini? Perhatikan rasio P/E-nya! Graham hanya akan membeli Growth Stock yang masih murah, yaitu jika rasio price-to-earning-nya masih di bawah 20 untuk satu tahun terakhir, dan juga rata-rata price-to-earning-nya agar masih di bawah 25 untuk beberapa tahun terakhir. Ini untuk mencegah agar kita tidak membeli saham-saham yang sudah kelewat mahal dan menggelembung (bubble). Zweig juga menekankan bahwa Growth Stock yang layak diinvestasikan haruslah saham dari perusahaan dengan bisnis yang mantap dan tidak sekedar ikut-ikutan bubble saja. Ini untuk berjaga-jaga ketika bubble itu pecah, saham dari perusahaan dengan latar belakang bisnis yang mantap masih bisa bangkit lagi, sedangkan yang sekedar ikut-ikutan akan seterusnya jatuh dan menjadi saham busuk.
3) Belilah saham perusahaan yang bagus ketika harga sedang diobral! Nah, inilah yang sebenarnya menjadi ciri khas seorang Value Investor! Secara umum, Value Investor tidak akan pernah mau membeli sesuatu yang sudah kelewat mahal, tetapi mereka akan benar-benar tamak ketika saham-saham perusahaan yang bagus diobral! Graham memberikan contoh-contoh yang menarik bagaimana hal ini terjadi pada jagat dunia persahaman. Misalnya dari Dow Jones Industrial Average yang diupdate setahun sekali. Akan selalu ada saham dari DJIA yang saat itu sedang seret bisnisnya sehingga menjadi tidak populer di kalangan para investor, tetapi saham itu cenderung akan bangkit lagi ke depannya (ingat DJIA adalah indeks perusahaan bluechip terbaik di Amerika). Graham menganjurkan untuk memborong saham DJIA yang pada tahun ini sedang tergolong murah, karena biasanya saham itu akan kembali naik harganya di masa depan. Strategi ini sangat populer bagi pemain saham di Amerika, dan terkenal dengan nama strategi ‘Dogs of the Dow‘. Saya tidak akan heran jika strategi serupa juga sudah diadaptasikan oleh para pemain saham Indonesia, mungkin dengan fokus pada indeks LQ-45 misalnya.
4) Belilah ketika terjadi ‘sesuatu yang luar biasa’! Secara umum Graham tidak menganjurkan para rekan untuk mengikuti sembarang berita sebagai alasan untuk membeli atau menjual, karena sungguh sulit untuk mengukur sentimen pasar terhadap harga suatu saham, dan hal ini sedikit banyak lebih bermanfaat bagi para spekulan yang ingin mendapat untung secara kilat. Akan tetapi, investor yang cerdik dapat mengambil peluang ketika terjadi sesuatu yang luar biasa sehingga suatu perusahaan bagus mendadak menjadi tidak populer sehingga jatuh harga sahamnya. Buffet yang merupakan murid Graham adalah jagonya untuk yang satu ini. Para rekan ingat kapan Buffet memborong saham perusahaan minuman ringan Coca Cola? Itu terjadi pada tahun 1985, tepat ketika saham Coca Cola anjlok setelah produk baru New Coke gagal total diterima konsumen luas!
https://time.com
Begitu gawatnya skandal New Coke, sampai-sampai Coca Cola dikutuki konsumen se-Amerika karena mengubah formula Coca Cola yang sudah klasik turun temurun menjadi New Coke dianggap sama saja dengan mengkhianati para pelanggan setia Coca Cola! Pada akhirnya toh Buffet menjadi orang yang tertawa paling akhir karena harga saham Coca Cola kembali meroket setelah skandal New Coke berakhir, dan beliau menikmati keuntungan yang berlipat-lipat dari saham Coca Cola sampai detik ini ketika penulis menulis kalimat ini. Sebagai tambahan kecil, Buffet sama sekali tidak memiliki rencana untuk melepas saham Coca Cola di masa depan. Zwaig menutup bab ini dengan kembali menekankan pentingnya diversifikasi, diversifikasi, dan diversifikasi. Investor aktif tidak akan pernah menaruh semua telurnya di dalam satu keranjang saja. Seperti apa pun strategi investasi yang para rekan pilih, usahakan untuk membeli saham-saham dari berbagai industri yang berbeda, baik dari dalam maupun luar negeri. Para rekan tentu ingat betapa mengerikan kondisi Indonesia pas krismon 1998, tetapi pada tahun yang sama justru Amerika sedang berpesta pora karena dotcom bubble yang tidak akan berakhir sampai tahun 2000-an. Pada akhirnya, pesan moral dari bab ini sudah cukup jelas. Investor aktif memiliki pola pemikiran yang berlawanan dengan kebanyakan orang! Belilah ketika semua orang panik, dan jualah ketika semua orang tamak! Strategi yang sangat sederhana di atas kertas, tetapi hanya segelintir orang yang sanggup melaksanakannya ketika bermain saham. Ulasan berikutnya adalah Bab 8: The Investor and Market Fluctuations, hal 188 – 225. Selamat membaca!
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 7, dan mengacu pada Bab 8: The Investor and Market Fluctuations, hal 188 – 225.
Bab ini bersama bab 20 adalah bab yang paling penting dari buku Intelligent Investor, dan menjadi dasar utama filsafat Value Investing. Bahkan seandainya pun para rekan disini bukanlah seorang penganut Value Investor, pesan moral dari bab ini bisa jadi akan seterusnya mengubah cara berpikir para rekan sebagai seorang investor. Graham membuka bab ini dengan kembali membahas perbedaan antara spekulan dan investor. Ingat bahwa Graham sama sekali tidak melarang kita berspekulasi, yang beliau tekankan adalah jangan pernah menipu diri sendiri dengan menganggap diri sedang berinvestasi, padahal yang kita lakukan adalah spekulasi.
Jika para rekan ingin berspekulasi, lakukanlah dengan mengakui bahwa anda bisa saja kehilangan uang yang anda taruh. Oleh karena itu, selalu batasi risiko yang para rekan ambil, dan jangan pernah mencampuradukkan dana khusus untuk spekulasi dengan dana terpisah untuk investasi.
Menurut Graham, perbedaan yang paling mendasar antara spekulan dan investor terletak pada bagaimana mereka mengambil sikap terhadap dinamika harga pasar. Spekulan selalu berusaha mengantisipasi dan mengambil untung dari fluktuasi pasar. Investor, di sisi lain, selalu berusaha memperoleh dan menyimpan saham pada harga yang sepantasnya. Pergerakan pasar tetap penting bagi investor secara praktis, karena bisa saja pasar memberikan harga yang murah dimana investor dengan bijak dapat membeli, dan harga yang mahal dimana sebaiknya investor tidak membeli dan malah dengan bijak memutuskan untuk menjual.
Karena saham akan selalu berfluktuasi naik turun harganya, seorang investor yang intelijen tidak boleh menafikkan kemungkinan meraih keuntungan ketika harga berayun seperti pendulum. Disini Graham menjabarkan dua strategi utama yang mungkin, yaitu strategi timing dan strategi pricing. Strategi timing berarti mengantisipasi aksi harga pasar. Beli dan simpan ketika ke depannya kita berharap harga akan naik. Jual dan jangan beli ketika ke depannya kita berharap harga akan turun. Strategi pricing, di sisi lain, melihatnya dari sisi yang berbeda. Beli ketika saham berada pada harga di bawah harga wajarnya. Jual ketika harga saham sudah berada di atas harga wajarnya. Keuntungan utama dari strategi pricing ini adalah kita tidak akan pernah membayar terlalu mahal untuk saham yang kita beli.
Graham sangat yakin bahwa investor yang kelewat menekankan pada strategi timing, dengan kata lain ‘nebak’ atau meramal masa depan, akan berakhir menjadi seorang spekulan belaka dan hanya akan membangun reputasi sebagai seorang spekulan. Ini berbeda dengan pandangan awam yang tidak biasa membedakan antara seorang investor dan spekulan, dan lebih-lebih lagi dewasa ini ketika broker dan analis saham kelewat menekankan market forecast untuk hari-hari ke depannya.
Disinilah Graham memberikan anekdot yang rada kocak agar idenya lebih mudah ditangkap, yaitu Tuan Pasar. Anggaplah Tuan Pasar adalah rekan anda yang rada-rada kagak waras dan selalu main ke tempat anda setiap hari untuk jual-beli saham pada harga yang berbeda-beda. Kenapa Tuan Pasar rada-rada kagak waras? Karena seringkali beliau menawarkan harga yang kebangetan mahalnya, tetapi tidak kalah sering juga beliau menawarkan harga yang kelewatan murahnya! Lebih anehnya lagi, Tuan Pasar tidak peduli kita mau mengambil harga yang dia tawarkan atau tidak. Beliau akan selalu kembali datang keesokan harinya dengan harga-harga baru yang akan dia tawarkan seenak perutnya sendiri.
Di sini menurut Graham, kuncinya adalah sabar. Sebelum Tuan Pasar datang, telitilah dulu harga wajar saham yang anda incar, lalu tentukan harga termurah yang bisa anda pasang. Begitu Tuan Pasar datang dan sedang kumat, bisa saja beliau dengan senang hati langsung menawarkan harga yang anda inginkan. Begitu juga ketika kita ingin menjual. Jika kita sudah tahu harga wajar suatu saham, kita juga dengan mudah dapat mempersiapkan harga dimana kita akan melepas saham tersebut. Lagi-lagi Tuan Pasar bisa saja sedang kumat ketika mengunjungi anda, dan cengengesan saja mengambil harga apa pun yang anda tawarkan tanpa pikir panjang. Warren Buffet memiliki kutipan yang menarik akan perilaku Tuan Pasar yang sedang kumat dan menawarkan harga yang tidak masuk akal murahnya, “saya seperti laki-laki yang menggebu-gebu nafsunya di kompleks pelacuran!” Maksud Buffet, itulah saatnya kita memborong saham-saham terbaik yang didiskon Tuan Pasar gila-gilaan dan menjadi kaya-raya!
Dengan kata lain, kalau anda adalah seorang investor sejati, tidak perlu anda setiap hari memusingkan naik-turunnya harga saham. Itu hanya membuat panik dan terbawa-bawa gayanya Tuan Pasar yang memang dari awal kita tahu sendiri orangnya memang rada-rada tidak waras.
Seorang investor tidak boleh kelewat mudah panik ketika pasar merosot, karena justru disitulah peluang besar muncul. Seorang investor yang membiarkan dirinya ikut-ikutan khawatir atau kelewat panik ketika pasar merosot begitu saja, berarti sama saja investor tersebut telah menggadaikan akal sehatnya dan terjerumus ikut menjadi sinting bersama Tuan Pasar.
Menurut Graham, itulah yang menjadi kelebihan utama seorang investor yang intelijen. Kita memiliki kebebasan penuh untuk setuju atau tidak dengan gaya nyentriknya Tuan Pasar. Kita memiliki hak untuk berpikir dan mengambil keputusan pribadi. Penyebab utama kebanyakan investor ritel tidak bisa berhasil dalam bermain saham adalah karena mereka terlalu terlena terhadap harga pasar baru-baru ini. Zwaig juga membenarkan pendapat Graham, bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa kita kontrol. Kita tidak akan pernah tahu apakah harga saham di portofolio kita akan naik hari ini, minggu depan, bulan depan, atau tahun ini. Return kita akan selalu bergantung pada kehendak Tuan Pasar. Tetapi kita memiliki kendali penuh atas:
1. Brokerage fee, dengan jarang-jarang melakukan trading dan memilih broker yang murah 2. Biaya kepemilikan, dengan tidak membeli reksadana yang kelewatan biaya pengelolaanya 3. Harapan kita, dengan memiliki prediksi return yang realistis dan tidak kelewat fantastis 4. Risiko kita, dengan menentukan persentase aset yang kita putar di bursa saham, diversifikasi, dan rebalancing 5. Pajak yang kita bayar, dengan menyimpan saham yang sudah kita teliti sebelumnya selama mungkin 6. Dan tentu saja, perilaku kita pribadi sebagai pemain saham. Tantangannya disini bukanlah mencari saham yang paling mungkin naik banyak dan turun sedikit, tetapi mencegah diri sendiri terjerumus mengikuti kesintingan Tuan Pasar. Jangan sampai kita membeli mahal karena Tuan Pasar berkoar-koar “Beli! Beli! Beli! Kita akan kaya-raya!”, dan menjual murah karena Tuan Pasar berkoar-koar “Jual! Jual! Jual! Bisa bangkrut kita!”
Jadi apa pesan moral bab yang penting ini? Well, kita harus mengakui kalau pasar seringkali salah, dan investor yang cerdas dan pemberani dapat mengambil peluang ketika itu terjadi. Selain itu, karakter dan kualitas suatu bisnis akan terus berubah dari waktu ke waktu, bisa ke arah yang lebih baik, dan bisa juga merosot menjadi lebih buruk. Investor sejati harus fokus kepada bagaimana perusahaan berjalan dari waktu ke waktu, dan bukan pada fluktuasi harga, kecuali ketika peluang muncul untuk membeli pada harga yang sudah anjlok tajam, maupun menjual pada harga yang sudah meroket tinggi. Ketika peluang tersebut belum muncul, abaikan saja harga yang ditawarkan Tuan Pasar dan tunggu sampai beliau kembali kumat. Ulasan berikutnya adalah Bab 9: Investing in Investment Funds, hal 226 – 256.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 8, dan mengacu pada Bab 9: Investing in Investment Funds, hal 226 – 256. Bab ini akan membahas lebih dalam lagi mengenai anjuran Graham bagi para investor pasif. Para rekan masih ingat?
Aduh, apa ya?
Berlangganan reksadana saja, tidak perlu main saham secara langsung. Sudah ingat?
Oh iya. Hehehehehe….
Graham sungguh seseorang yang sangat visioner. Ketika beliau menulis bab ini, reksadana indeks sama sekali belum ada yang menjalankan sampai tahun ’70-an. Reksadana secara umum sudah ada, tetapi ketika itu baru ada reksadana tradisional yang dikelola oleh fund manager profesional.
Bahkan ketika reksadana indeks Vanguard 500 -yang berusaha tracking indeks S&P 500 secara konsisten- pertama kali keluar pada tahun 1976, kebanyakan orang mentertawakan dan menganggap Vanguard Group sudah gila. Mana ada investor yang mau menanamkan modal dengan premis return yang pasti ‘biasa-biasa saja’ kata para analis saham di Wall Street.
Kenyataannya, aset reksadana indeks Vanguard 500 terus tumbuh secara konsisten, dan bahkan berhasil melewati reksadana Magellan pada tahun 2000.
Asal tahu saja, reksadana Magellan adalah reksadana yang paling sukses pada masa keemasannya, dan sempat dikelola langsung oleh super investor legendaris, Peter Lynch. Pak Graham sekali lagi terbukti benar, Value Investor selalu menang dalam jangka panjang. Luar biasa!
Nah, sekarang mari kita mulai dengan merenungkan tiga pertanyaan penting sebelum berinvestasi di Reksadana manapun.
Apakah ada cara yang pasti agar investor bisa meraih hasil di atas rata-rata dengan memilih RD yang tepat?
Kalau tidak bisa, bagaimana agar investor tidak sampai salah pilih dan mendapat hasil di bawah rata-rata?
Apakah investor bisa memilih secara cerdas dari berjibun banyaknya tipe RD yang berbeda-beda?
Secara umum, investasi saham itu memang tidak mudah. Graham percaya kebanyakan orang memang tidak akan sanggup berhasil bermain saham secara langsung, dan lebih baik mereka mempercayakan investasi saham mereka kepada fund manager profesional. Masalahnya disini, biaya-biaya yang dibebankan manajer reksadana seringkali kebangetan mahalnya jika dibandingkan dengan biaya-biaya bermain saham secara langsung.
Selain itu, reksadana tidak akan bisa menjamin return di atas rata-rata setiap saat. Malahan reksadana yang short-term gainnya terlalu besar cenderung tidak konsisten returnnya dalam jangka panjang. Ini karena RD yang super agresif cenderung melakukan aksi spekulatif berlebih-lebihan, dan ini seringkali berakhir dengan mimpi buruk bagi para investor. Di sini Graham percaya bahwa investor yang sekedar membeli reksadana berdasarkan keberhasilan performance di masa lalu adalah investor yang sangat naif dan akan kecewa dalam jangka panjang. Zwaig disini lalu menguji hipotesis Graham dengan menggunakan data return reksadana dari tahun ke tahun, dan hasilnya cukup mengejutkan. Data Zwaig menunjukkan bahwa nyaris semua reksadana yang dikelola secara profesional memang tidak memberikan return yang di atas rata-rata dalam jangka panjang! Memang benar ada RD yang di atas kertas ‘mengalahkan pasar’, tetapi jika biaya-biaya reksadana juga diperhitungkan, sebenarnya sebagian besar investor tetap saja akan mendapatkan return yang lebih kecil dari rata-rata pasar. Disinilah RD indeks memiliki keunggulan. Karena mereka adalah low-cost fund yang dirancang untuk ‘sekedar’ mengekor pasar, return dari RD indeks pada akhirnya akan berhasil mengalahkan return RD lainnya yang cenderung high-cost, dan itu berarti RD indeks juga berhasil mengalahkan pasar dalam jangka panjang. Juga jangan lupa bahwa RD indeks memang cocok bagi investor pasif yang tidak bisa mededikasikan energi dan waktu untuk berinvestasi seperti layaknya investor aktif. Dengan mempercayakan permainan saham kepada profesional, investor pasif sebenarnya bisa dibilang ‘membeli’ waktu luang yang lebih banyak untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat di luar main saham. Agar lebih afdol, jangan lupa untuk tetap melakukan diversifikasi. Tetap sebar portofolio para rekan dengan berlangganan RD indeks yang berbeda-beda, dan juga antara berbagai sarana investasi lainnya seperti emas, obligasi, SUN, cash, dll untuk semakin mengurangi risiko. Nah, jadi apa pesan moral dari bab ini? Walaupun cenderung memberikan return yang membosankan, RD indeks yang secara praktis memiliki semua saham pada indeks tertentu akan berhasil mengalahkan kebanyakan RD dalam jangka panjang, dan saya bicara jangka panjang yang benar-benar panjang! Jika para rekan rajin menambahkan dana secara rutin pada RD indeks selama bertahun-tahun, peluangnya sangat besar kalau pada akhirnya para rekan investor akan mendapatkan return yang lebih baik dari profesional sekalipun. Sabar, sabar, dan sabar, dan investor pasif juga akan menang pada akhirnya.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 9, dan mengacu pada Bab 10: The Investor and His Advisers, hal 257 – 279.
“Pak, buruan beli TAHU. Sahamnya lagi digoreng.”
“Gak ikutan koleksi TMPE? Sudah naik 10% setelah isu tapering loh, Bu!”
“Gw baca di blog Billy the Pip kemarin Lo Kheng Hong sudah beli BUMI. Bego bener lo pada, kalo Kheng Hong saja sudah beli, kita juga jangan ketinggalan!”
Bagaimana? Apakah para rekan disini pernah mendengar hal-hal seperti di atas sepanjang karir bermain saham? Bab ini sangat menarik dan tepat sasaran menurut saya. Graham menjabarkan makna ‘advisers’ lebih dari sekedar pemberi nasihat finansial profesional.
Makna penasihat disini adalah seluas-luasnya, termasuk suami, istri, anak, orangtua, kerabat, sahabat, tetangga, rekan milis, teman chatting, rumor bandar, internet, kawan arisan, sopir taksi, tukang ojek, komentator, blogger, kolumnis, berita TV, kasir bank, marketer, broker, dealer, analis, sampai pemberi nasihat finansial profesional betulan.
Coba renungkan sejenak. Kita selalu mendapatkan nasihat-nasihat dan hot tips dari berbagai sumber yang kalau dipikir-pikir kebanyakan itu omong-kosong dan ngawur.
Kalau anda mencoba kritis sedikit, bahkan blog Billy the Pip yang anda baca ini cukup meragukan latar belakang penulisnya. Apa yang saya tuangkan disini adalah pemikiran saya berdasarkan bacaan-bacaan dan pengalaman investasi yang bisa jadi hanya ‘sekedar’ tahu sedikit saja, dan bisa jadi juga saya hanya sok tahu koar-koar berbagi dan menggurui para pembaca setia blog ini.
Anehnya, para pemain saham cenderung mencari hot tips terbaru dari mana saja, dan baik secara sadar maupun tidak sadar selalu berusaha membenarkan nasihat-nasihat tersebut. Karena itulah pada bab ini Graham mengajak para investor yang intelijen agar untuk tidak kelewat naif, dan mulai ‘memakai otak’. Dengan kata lain, bagaimana kita sebaiknya memilah-milah masukan yang benar berguna dan masukan yang tidak berguna? Ternyata saran Graham dalam menghadapi para penasihat dan berjibun hot tips-nya tidaklah rumit, dan bahkan sangat masuk akal. Investor yang intelijen akan:
waspada terhadap masukan apa pun. Jangan pernah langsung percaya pada siapa pun juga! Rekomendasi apa pun haruslah kita verifikasi sendiri apakah sesuai dengan gaya main saham pribadi, dan apakah sesuai dengan apa yang ada pada rencana investasi kita. Jangan pernah sekedar ikut-ikutan saja apa yang disarankan para pemberi nasihat.
menghindari mereka yang berkoar-koar berhasil mencetak return yang kelewat tidak masuk akal. Return main saham yang terlalu tinggi sebenarnya sangat mencurigakan. Biasanya mereka itu benar-benar ngibul, atau terlena setelah sekedar cuan besar sesaat yang biasanya tidak lagi berulang ke depannya. Orang-orang seperti inilah yang ironisnya langsung self-declare masternya main saham dan sok menggurui siapa pun bahwa cara main saham mereka itu yang paling benar. Justru sebaliknya, orang-orang macam inilah yang nasihatnya harus benar-benar diabaikan investor yang intelijen.
mengutamakan nasihat dari analis keuangan profesional (Chartered Financial Analyst) dari perusahaan sekuritas besar dan terpercaya. Suka tidak suka, seorang CFA profesional yang kompeten tentu saja memiliki sejumlah keunggulan seperti akses informasi langsung ke emiten-emiten tertentu yang biasanya tidak dimiliki oleh investor ritel. Masukan dari mereka bisa bermanfaat sebagai pelengkap hasil riset pribadi yang harus sudah dilakukan sendiri oleh investor ritel.
investor pasif justru tidak butuh lagi masukan main saham yang aneh-aneh. Ingat, investor pasif disarankan Graham untuk membatasi diri dengan mengoleksi saham-saham dari perusahaan Blue-Chips saja seperti yang sudah masuk dalam DJIA atau ‘mungkin’ indeks LQ-45 untuk kasus di Indonesia. Jadi kenapa harus bingung-bingung lagi?
memastikan penasihat mereka benar-benar konsisten memberikan masukan yang baik. Tidak peduli sehebat apa pun latar belakang sang penasihat, tetap saja masukan mereka belum tentu cocok dengan gaya main saham pribadi. Selalu kritis terhadap masukan apa pun, sampai masukan mereka terbukti konsisten menguntungkan dan sesuai dengan gaya main saham pribadi.
Zweig di sisi lain lebih menekankan kewaspadaan dalam mempertimbangkan masukan dari penasihat keuangan profesional. Dalam hal ini Zwaig bahkan lebih konservatif lagi daripada Graham. Investor yang intelijen harus selalu mengerjakan PR akan kualitas sang penasihat, tidak ada tapi-tapian. Bahkan sebaiknya google saja sekalian, bagaimana reputasi sang penasihat sebelum menerima masukan darinya.
Dengan kata lain, usahakan mencari info sebanyak mungkin akan:
seberapa peduli sang penasihat dalam usaha membantu kliennya,
seberapa dalam pemahaman sang penasihat akan prinsip-prinsip investasi yang intelijen seperti yang dijabarkan oleh Benjamin Graham,
Kuncinya disini menurut Zwaig adalah menilai seberapa besar ketertarikan sang penasihat dengan situasi keuangan pribadi sang investor. Apakah dia benar-benar mempertimbangkan anggaran para rekan untuk berinvestasi? Tujuan investasi anda? Feeling anda terhadap pasar? Aspek psikologis? Penasihat yang baik akan serius mempertimbangkan hal-hal tersebut bahkan sebelum mereka melemparkan masukan apa pun kepada anda.
Justru jika mereka tidak menanyakan hal-hal tersebut, mereka tidak benar-benar peduli apa yang akan terjadi setelah para rekan menerima masukan mereka. Waspadalah terhadap pemberi nasihat yang membahayakan investor seperti itu.
Pesan moral disini adalah selalu berhati-hati dan bersikap kritis. Ingatlah selalu bahwa alasan kita berinvestasi itu karena kita ingin mencetak profit. Kalau kita kelewat naif percaya begitu saja masukan dari orang lain, kita sebenarnya sama saja dengan mengandalkan orang lain yang seringkali tidak tahu dan tidak benar-benar peduli situasi finansial kita pribadi. Selalu ingat bahwa dunia investasi penuh dengan pemain curang, penipu, dan maling, sampai-sampai malaikat penjaga neraka akan terus sibuk sampai berpuluh-puluh tahun ke depan. Waspadalah, waspadalah! Ulasan berikutnya adalah Bab 11: A General Approach to Security Analysis for the Lay Investor, hal 280 – 309.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 10, dan mengacu pada Bab 11: A General Approach to Security Analysis for the Lay Investor, hal 280 – 309. Tak terasa kita sudah mengulas separuh buku Intelligent Investor. Sungguh perjalanan yang sangat menarik setelah dipikir-pikir. Kalau dari sepuluh bab pertama kita melihat strategi Value Investing secara general, maka pada sepuluh bab kedua kita akan mengupas strategi Value Investing secara spesifik.
Saya rasa Pak Graham ingin agar kita tidak sekedar mengikuti mentah-mentah metode kuantitatif valuasi saham ala Graham, dan melupakan esensi dari Value Investing sejati. Itulah sebabnya bab-bab awal buku Intelligent Investor penuh dengan nasihat-nasihat umum bagi investor ritel, sebelum kita masuk ke detil spesifik main saham ala Value Investor.
Jadi bagaimana kita melakukan valuasi terhadap suatu saham? Menurut Graham, ada 5 hal utama yang harus kita perhatikan.
Prospek jangka panjang perusahaan secara umum. Fokuslah pada laporan keuangan perusahaan. Apakah perusahaan terus tumbuh dengan mantap? Apakahan pertumbuhan ini sejalan dengan harga sahamnya? Apakah harga saham naik turun tidak karuan dan tidak sejalan dengan bisnis perusahaan? Harga boleh saja naik turun tidak karuan karena Tuan Pasar sedang kumat, asalkan bisnis perusahaan benar-benar tumbuh dengan mantap. Usahakan menganalis data yang cukup, paling tidak 5 tahun ke belakang.
Kualitas manajemen. Yang ini memang susah-susah gampang. Graham memberikan contoh pentingnya faktor manajemen pada kasus Turnaround. Perusahaan jelek bisa saja berbalik bangkit lagi jika manajemen yang baru sukses melakukan perubahan. Atau bisa juga dengan melihat Laporan Tahunan perusahaan dari waktu ke waktu, dan perhatikan apakan manajemen benar-benar konsisten melaksanakan apa yang mereka rencanakan, dan juga secara terbuka membahas langkah-langkah strategis mereka. Waspadalah jika tingkah laku manajemen cenderung aneh-aneh dan tidak sejalan dengan kelangsungan bisnis perusahaan.
Struktur modal dan keuangan yang sehat. Sebaiknya hutang perusahaan serendah mungkin, tetapi perhatikan juga trendnya dari waktu ke waktu. Dalam jangka panjang, hutang perusahaan haruslah konsisten rendah atau terus menurun. Ingat persamaan dasar akuntasi bahwa Aset = Liabilitas + Ekuitas. Atau dalam bahasa awam, harta perusahaan datang dari meminjam uang orang lain dan merogoh kantong sendiri. Semakin besar persentase harta yang datang dari kantong sendiri, semakin baik.
Konsistensi pembagian dividen. Graham ingin perusahaan terus membagikan dividen terus-menerus selama 20 tahun terakhir(!). Perusahaan yang tidak konsisten kebijakan dividennya itu cukup mencurigakan.
Dividend Payout Ratio. Semakin besar Rasio Pembayaran Dividen, semakin baik. Capital gain bukanlah target utama dari Pak Graham. Beliau lebih senang mendapatkan pemasukan yang konsisten dari dividen yang dibagikan perusahan setiap tahun.
Komentar-komentar dari Zweig lebih terkait langsung dengan dunia investasi Amerika, tetapi kita bisa mencari analoginya dengan dunia investasi Indonesia.
Untuk menganalisis prospek jangka panjang suatu emiten misalnya, kita bisa mengunduh Laporan Keuangan & Tahunan dari situs IDX atau situs emiten yang bersangkutan selama beberapa tahun ke belakang, dan biasanya ada 2 versi Laporan Tahunan yang diberikan kepada investor. Versi yang user-friendly yang penuh gambar-gambar lucu dan foto-foto menarik, dan versi serius yang seperti Laporan Keuangan betulan – karena itu memang Laporan Keuangan betulan yang dibuat dan diaudit oleh akuntan profesional.
Yang ada di situs IDX biasanya hanya yang versi serius, sedangkan yang ada di situs perusahaan bisa saja tersedia keduanya. Abaikan Laporan Tahunan yang user-friendly (saya terlalu ekstrim disini awalnya. Rekan Parahita memberi masukan agar Annual Reports juga tetap dibaca bersamaan dengan Laporan Tahunan. Penjelasan lebih lengkap ada di Post Script), silakan baca Annual Reports tersebut bersamaan dengan dan fokuslah pada Laporan Tahunan yang serius karena disitulah kita akan bisa mendapatkan data-data yang lebih komplit tanpa basa-basi untuk analisis fundamental. Ah, Bung Willy sadis amat. Laporan Tahunan itu tebal-tebal benar loh! Bisa sampai 100 – 200 halaman. Saya mau yang versi lucu-lucunya saja, atau yang versi ringkasnya. Kan sama saja dalamnya? Dan sekali lagi saya ingatkan, jika para rekan disini langsung mengeluh tidak mau memeras keringat bersusah payah membaca Laporan Keuangan yang serius, berarti anda memang tidak pantas menjadi seorang investor aktif. Silakan kubur mimpi anda di siang bolong untuk menjadi the next Warren Buffet atau Lo Kheng Hong, beli saja reksadana indeks, dan gunakan waktu luang anda untuk hal-hal yang lebih bermanfaat di luar pasar modal. Paham?
Kalau sudah paham, inilah beberapa analisis fundamental praktis yang dikemukakan Zwaig:
Analis laporan arus kas. Perhatikan bagaimana uang mengalir masuk dan keluar sepanjang tahun. Jika ada banyak sekali cash dari aktivitas pendanaan sedangkan cash dari aktivitas operasi terus menerus negatif, berarti ada yang tidak beres karena ini memberikan indikasi bahwa perusahaan cenderung gali lubang tutup lubang. Perusahaan yang sehat seharusnya mampu menutup biaya pengeluaran dari aktivitas operasinya (hidup murni dari bisnis), dan bukan dari aktivitas pendanaan (menerbitkan obligasi baru, right issue, dll). Ada banyak variasi analisis arus kas, tetapi intinya disini adalah bisnis harus bisa mencetak uang lebih banyak daripada menghabiskannya. Segila apa pun naik-turunnya harga saham, nilai perusahaan akan terus meningkat jika arus kas dari aktivitas operasi terus tumbuh selama bertahun-tahun.
Perhatikan “moat” atau keunggulan kompetitif dari perusahaan. Bayangkan moat itu sebagai parit pelindung kastil abad pertengahan. Kastil dengan moat yang baik akan sanggup bertahan dari gempuran ganas lawannya, sedangkan kastil tanpa moat tidak akan sanggup bertahan digempur lawan. Dalam dunia bisnis, moat bisa mencakup: strong brand (misalnya motor gede langsung terbayang Harley Davidson), monopoli baik secara langsung maupun praktis, kemampuan untuk menekan biaya serendah mungkin tetapi juga tetap memberikan profit margin yang cukup (misalnya pisau cukur Gillette yang relatif murah karena diproduksi massal sampai bilyunan), aset tak berwujud yang unik (ingat Coca-Cola, kalau dipikir-pikir hanya air gula kecoklatan, tetapi sanggup membangun konsumen yang setia di seluruh dunia), atau resistensi terhadap substitusi (misalnya perusahaan listrik, nyaris tidak mungkin ada sumber energi lain yang bisa menggantikan listrik ke depannya).
Perhatikan pendapatan dan laba tahunan dari waktu ke waktu. Perusahaan yang sehat sebaiknya terus tumbuh labanya dengan mantap, dan bukannya naik turun tidak karuan. Zwaig senang membayangkan perusahaan yang sehat sebagai pelari marathon dan bukan sprinter. Perusahaan yang growth-nya antara 10% sampai 15% cukup sustainable. Sedangkan perusahaan yang growth-nya jauh di atas 15% cenderung ‘kehabisan nafas’ pada tahun-tahun mendatang.
Perhatikan pengeluaran perusahaan untuk gaji manajemennya. Rasanya tidak masuk akal kalau perusahaan sampai kelewat bermurah hati membayar CEO-nya milyaran rupiah per tahun, belum lagi kalau sampai CEO juga sekalian dapat fasilitas rumah, mobil, tunjangan hari raya, dan lain sebagainya. Ini perusahaan untuk memperkaya investornya atau manajemennya?
Waspada terhadap aksi korporasi yang aneh-aneh.Stock-split yang berlebih-lebihan misalnya, bisa saja tidak menguntungkan investor, tetapi lebih banyak mengundang spekulan atau bandar dalam menggoreng saham. Begitu juga dengan buy-back. OK-lah jika buy-back dilakukan ketika harga saham sedang jatuh, tetapi tidak masuk akal melakukan buy-back jika harga saham sedang tinggi-tingginya. Bisa saja ini dilakukan oleh orang dalam yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengeksekusi opsi saham pada harga yang luar biasa mahal.
Pesan moral dari bab ini sebenarnya tercantum secara implisit pada bab-bab sebelumnya. Sekedar mencari nilai wajar suatu perusahaan hanyalah satu keping kecil dari kegiatan Value Investor. Justru mereka yang kelewat menekankan pentingnya mengetahui nilai wajar suatu perusahan akan kecewa karena mereka melupakan hal-hal lain yang juga tidak kalah penting dilakukan oleh seorang investor yang intelijen. Jika para rekan masih tidak setuju, stop. Baca ulang semua bab sebelumnya sebelum kita meneruskan ulasan pada bab-bab berikutnya. Saya yakin justru bab-bab sebelumnya lebih penting dan menunjukkan semangat seorang Value Investor yang sesungguhnya. Ulasan berikutnya adalah Bab 12: Things to Consider About Per-Share Earnings, hal 310 – 329. Selamat membaca!
PS: Saya mendapat masukan dari rekan Parahita bahwa Annual Reports dan Financial Statements sebaiknya tetap dibaca bersamaan karena bisa saja ada info-info tertentu yang bisa kita ambil dari Annual Reports. Hal-hal seperti distribusi revenue, kapasitas produksi, rencana ekspansi, dll. Yang penting disini ada framework di awal tentang tujuan analisis dan cari datanya di mana saja. Seringkali investor harus googling juga supaya lengkap infonya.
Rekan Parahita disini benar, sungguh tidak bijak mengabaikan begitu saja Annual Reports yang bisa menjadi sumber informasi tersendiri akan emiten yang kita incar. Terima kasih banyak atas kritiknya yang sangat membangun, rekan Parahita.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 11, dan mengacu pada Bab 12: Things to Consider About Per-Share Earnings, hal 310 – 329. Fokus pada bab ini adalah analisis laba-rugi, atau untuk lebih jelasnya lagi, analisis akan sejumlah uang yang perusahaan ‘klaim’ hasilkan untuk setiap lembar sahamnya. Perhatikan baik-baik bahwa saya menekankan kata ‘klaim’ disini.
Ada dua hal penting yang Graham tekankan disini.
Pertama, waspadalah terhadap angka laba tahunan yang dicantumkan perusahaan. Laba perusahaan pada tahun tertentu bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Misalnya bisa saja ada laba yang luar biasa besar pada tahun tertentu karena penjualan aset utama, dan yang berarti juga sebenarnya merugikan perusahaan dalam jangka panjang.
Saran Graham di sini, perhatikan pola laba perusahaan dari tahun ke tahun. Ingat, sebelumnya Graham menganjurkan membaca laporan keuangan perusahaan minimal 5 tahun ke belakang. Graham pribadi bahkan bisa membaca LK sampai 20 tahun ke belakang agar benar-benar yakin dengan emiten yang beliau incar! Pokoknya data hanya dari satu tahun saja sama sekali tidak cukup untuk menilai kinerja perusahaan.
Dan itulah nasihat kedua Graham, untuk laba jangka pendek, pastikan anda benar-benar mengerti mengapa angka labanya bisa keluar sekian. Jadi jika angka-angkanya terlihat terlalu bagus, biasanya memang mencurigakan.
Investor yang intelijen harus cermat disini. Baca benar-benar Laporan Tahunan perusahaan. Baca info terkait emiten pada situs IDX. Perhatikan keterangan-keterangan tambahan yang dicantumkan pada LK mengenai laba. Apakah keterangannya masuk akal? Apakah ada beban begini begitu yang terus menerus timbul dari waktu ke waktu? Beban begini begitu apaan, dan seberapa jauh angkanya berubah jika beban yang aneh-aneh ini tidak dimasukkan?
Zweig mengambil contoh bagaimana nasihat Graham akan analisis laba-rugi diterapkan pada perusahaan Amerika yang fundamentalnya tidak karuan. Ini adalah perusahaan-perusahaan yang sepintas bisnisnya terlihat mantap, tetapi isi laporan keuangannya bisa membuat jantungan investor yang cermat. Seandainya saja para investor tidak lugu mau saja ikut-ikutan membeli perusahaan-perusahan tersebut, tentu mereka bisa menghindari tragedi finansial dari jauh-jauh hari.
Beberapa nasihat praktis Zwaig terkait analisis laba-rugi antara lain:
Baca laporan keuangan dari belakang. Hal-hal yang paling mengerikan biasanya memang sengaja ditaruh rada-rada tersembunyi pada LK. Cerita yang sebenarnya seringkali ada pada bagian terakhir dari LK, yaitu bagian Catatan atas Laporan Keuangan, oleh karena itu investor yang intelijen sebaiknya mulai membaca dari bagian ini.
Baca benar-benar bagian Catatan atas Laporan Keuangan. Ironisnya, angka-angka pada bagian depan Laporan Tahunan seringkali menjadi fokus utama para investor, padahal faktanya tersembunyi jauh di belakang. Secara umum, semakin panjang dan berbelit-belit bagian Catatan atas Laporan Keuangan, semakin meragukan kinerja perusahaan tersebut.
Asah keahlian anda membaca laporan keuangan. Untuk mengerti laporan keuangan suatu perusahaan, mau tidak mau seorang investor aktif harus mau dan mampu membacanya seperti layaknya seorang akuntan. Paling tidak, investor aktif harus melek prinsip akuntansi dasar. Baca-baca juga buku mengenai analisis laporan keuangan praktis biar lebih afdol.
Jadi apa pesan moral dari bab ini? Sederhana saja, jangan mudah percaya angka-angka yang tertulis pada Laporan Keuangan suatu perusahaan! Ada 1001 cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk memanipulasi angka-angka tersebut, baik secara legal maupun ilegal. Investor yang intelijen harus mau dan mampu membaca makna di balik angka-angka yang perusahaan ‘klaim’ tersebut, jadi jangan terlalu naif juga perusahaan akan langsung jujur menampilkan angka-angka tersebut apa adanya tanpa dipoles. Ingat, orang yang berjas dan berdasi bisa mencuri uang jauh lebih banyak daripada orang dengan pisau atau pistol.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 12, dan mengacu pada Bab 13: A Comparison of Four Listed Companies, hal 330 – 346. Bab ini membahas bagaimana Graham mengevaluasi Value suatu perusahaan pada tahun 1972 sebagai contoh. Empat perusahaan Amerika yang menjadi fokus Graham adalah ELTRA (a merger of Electric Autolite and Mergenthaler Linotype enterprises), Emerson Electric (a manufacturer of electric and electronic products), Emery Air Freight (a domestic forwarder of air freight), dan Emhart Corp (originally a maker of bottling machinery only, but now also in builders’ hardware).Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan Graham adalah:
Profitabilitas. Lihat profibilitas dari dekade sebelumnya.
Stabilitas. Bagaimana perusahaan bertahan pada tahun-tahun terberat mereka.
Growth. Ingat nasihat Graham pada bab sebelumnya. Jangan hanya lihat data tahun terakhir, cari tahu juga bagaimana kinerja perusahaan dari waktu ke waktu.
Dividen. Pembayaran dividen harus konsisten dari tahun ke tahun.
Harga. Untuk melihat trend harga dari waktu ke waktu.
Setelah mempertimbangkan semua hal di atas, Graham menarik kesimpulan bahwa Emerson dan Emery sudah kemahalan. Emerson memiliki potensi jangka panjang yang lebih baik, tetapi Emery hanya layak dikoleksi pada harga yang ‘pantas’. ELTRA dan Emhart masih cukup murah, dan bisa dikoleksi oleh investor pasif karena memenuhi ‘tujuh syarat statistik’ yang akan dijabarkan Graham pada bab berikutnya. Zwaig lalu mengulang analisis Graham pada konteks yang lebih modern pada tahun 80-an, 90-an, dan awal 2000-an. Berhubung hanya Emerson perusahaan yang masih bertahan ketika Zwaig menulis bagian komentar, Zwaig mengambil contoh tiga perusahaan lain, yaitu EMC (enables companies to automate the storage of electronic information over computer networks), Expeditor’s International (helps shippers organize and track the movement of goods around the world), dan Exodus Communications (hosts and manages websites for corporate customers, along with other Internet services). Ternyata kesimpulan Zwaig tidak jauh berbeda dengan Graham. Perusahaan yang tidak stabil di atas kertas dengan growth yang terlalu cepat memang tidak akan memberikan return investasi yang stabil!
Kasus yang sangat ekstrim ada pada perusahaan hi-tech Exodus Communication, yang tidak berkutik ketika gelembung dotcom pecah sampai akhirnya Exodus Communication jatuh terkapar menjadi sekedar saham busuk pada 2003. Sebaliknya perusahaan Emerson dengan bisnis produk rumah tangga, AC, dan motor listriknya justru terus bertahan dari zaman Graham secara konsisten, dan masih tetap berkibar dengan gagahnya ketika gelembung dotcom pecah. Ada satu pesan moral yang tersirat dari bab ini. Value investor tidak tertarik membeli saham-saham yang paling panas pada masanya! Saham-saham ini sepintas memang sangat menjanjikan dengan return jangka pendek yang luar biasa, tetapi seringkali juga saham-saham tersebut sudah kebangetan mahalnya dan akan terjun bebas dengan sangat ekstrim (ingat BUMI?). Justru Value Investor akan cenderung mengincar perusahaan-perusahaan yang bisnisnya membosankan (Old Economy kalau dalam istilah Buffet), tetapi memiliki peluang sangat besar untuk terus bertahan sampai jauh ke depannya. Ulasan berikutnya adalah Bab 14: Stock Selection for the Defensive Investor, hal 347 – 375
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 13, dan mengacu pada Bab 14: Stock Selection for the Defensive Investor, hal 347 – 375.
Beberapa kolega saya berpendapat bahwa bab ini dan bab berikutnya adalah klimaks dari buku Intelligent Investor, karena pada bab-bab inilah Graham benar-benar menuangkan teknik seleksi sahamnya secara terperinci. Graham memulainya dengan teknik yang lebih konservatif dalam memilih saham-saham tertentu, dan ditujukan bagi para investor pasif. Saran Graham sangat sederhana. Mulailah dari saham-saham yang tercatat pada suatu indeks tertentu, misalnya indeks Dow Jones Industrial Average atau S&P500. Kalau di Indonesia, kita bisa mulai dengan indeks LQ-45 atau JII sebagai contoh. Setelah itu, kita bisa menerapkan tujuh syarat statistik untuk saham-saham pada indeks tersebut, yaitu:
Besarnya perusahaan tersebut. Jangan berinvestasi pada perusahaan kecil. Investor pasif harus menghindari saham dari perusahaan yang kapitalisasi pasarnya kecil.
Struktur keuangan yang cukup kuat.Aset lancar dari perusahaan defensif yang kuat haruslah dua kali lipat hutang lancar perusahaan tersebut. Atau dalam bahasa akuntansi, rasio lancar minimal harus sama dengan dua. Hutang jangka panjang tidak boleh melebihi net aset lancar.
Stabilitas laba. Perusahaan harus terus-menerus mencetak laba selama 10 tahun terakhir.
Konsistensi dividen. Perusahaan harus terus-menerus membayarkan dividen setiap tahun selama 20 tahun terakhir.
Pertumbuhan laba. Perusahaan harus sudah mencetak kenaikan laba per lembar saham sebesar minimal 33% dibandingkan 10 tahun yang lalu, dengan membandingkan rata-rata tiga tahunan di awal dan akhir 10 tahun tersebut.
Rasio harga terhadap laba yang relatif rendah. Harga saham tidak lebih dari 15 kali laba perusahaan pada tiga tahun terakhir.
Rasio harga terhadap nilai buku yang relatif rendah. Harga saham maksimal adalah 150% nilai bukunya. Aturan ini boleh rada longgar jika rasio P/E ada di bawah 15, dengan catatan perkalian antara PER dan PBV tidak lebih dari 22.5. Angka 22.5 ini muncul dari perkalian PER x PBV = 15 x 150% = 22.5.
Tujuh syarat statistik ini cukup ketat, jadi akan sedikit sekali saham yang bisa masuk saringan para rekan. Saham-saham yang masuk pada kriteria ini biasanyanya adalah saham dari perusahaan yang nilainya stabil.
Buset, Bung Willy! Bisa setengah mati nih menyortir sahamnya satu per satu. LQ-45 saja ada 45 saham kan??
Tenang, kita kan sudah hidup di abad ke-21. Kita bisa memanfaatkan jasa stock screener yang tersedia cuma-cuma pada banyak situs finansial. Salah satu situs yang sangat baik jasa stock screener-nya adalah Financial Times, dan situs ini termasuk favorit saya dalam memilih saham-saham untuk portofolio saya. Jika para rekan tertarik menggunakan stock screener dari Financial Times, rekan Bola Salju telah mempersiapkan langkah-langkahnya secara elegan di halaman menyaring saham pilihan.
Jangan terlalu kaku juga harus 100% ikut kriteria Graham, cobalah bermain-main sedikit dengan screener tersebut sampai bisa mendapatkan pilihan saham yang sesuai dengan apa yang para rekan inginkan.
Nasihat Zwaig bahkan lebih sederhana lagi daripada Graham. Daripada repot-repot dengan tujuh syarat statistik di atas, beli saja semua saham pada indeks yang kita incar, atau untuk praktisnya ya berarti beli saja reksadana indeks yang kita incar dan simpan selama mungkin. Sekali lagi Zwaig mengingatkan bahwa RD indeks akan konsisten dengan dinamika pasar, juga dengan biaya yang relatif rendah, dan -yang paling penting- hanya perlu sedikit usaha saja dari pembelinya. Pesan moral bab ini adalah agar investor pasif tidak sok tahu dengan berusaha di luar kemampuannya, karena itu hanya akan menambah risiko yang tidak perlu dan biaya tambahan yang berlebihan. Jika bahkan saran Graham pada tujuh syarat statistik di atas sudah terlalu berat bagi para rekan investor disini untuk mengikutinya, maka tidak ada pilihan lain. Silakan kubur mimpi anda untuk mendapat cuan besar dari investasi saham di pasar modal secara langsung, dan fokus saja berlangganan RD indeks saja untuk ke depannya. Ulasan berikutnya adalah Bab 15: Stock Selection for the Enterprising Investor, hal 376 – 401
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 13, dan mengacu pada Bab 14: Stock Selection for the Defensive Investor, hal 347 – 375.
Beberapa kolega saya berpendapat bahwa bab ini dan bab berikutnya adalah klimaks dari buku Intelligent Investor, karena pada bab-bab inilah Graham benar-benar menuangkan teknik seleksi sahamnya secara terperinci. Graham memulainya dengan teknik yang lebih konservatif dalam memilih saham-saham tertentu, dan ditujukan bagi para investor pasif. Saran Graham sangat sederhana. Mulailah dari saham-saham yang tercatat pada suatu indeks tertentu, misalnya indeks Dow Jones Industrial Average atau S&P500. Kalau di Indonesia, kita bisa mulai dengan indeks LQ-45 atau JII sebagai contoh. Setelah itu, kita bisa menerapkan tujuh syarat statistik untuk saham-saham pada indeks tersebut, yaitu:
Besarnya perusahaan tersebut. Jangan berinvestasi pada perusahaan kecil. Investor pasif harus menghindari saham dari perusahaan yang kapitalisasi pasarnya kecil.
Struktur keuangan yang cukup kuat.Aset lancar dari perusahaan defensif yang kuat haruslah dua kali lipat hutang lancar perusahaan tersebut. Atau dalam bahasa akuntansi, rasio lancar minimal harus sama dengan dua. Hutang jangka panjang tidak boleh melebihi net aset lancar.
Stabilitas laba. Perusahaan harus terus-menerus mencetak laba selama 10 tahun terakhir.
Konsistensi dividen. Perusahaan harus terus-menerus membayarkan dividen setiap tahun selama 20 tahun terakhir.
Pertumbuhan laba. Perusahaan harus sudah mencetak kenaikan laba per lembar saham sebesar minimal 33% dibandingkan 10 tahun yang lalu, dengan membandingkan rata-rata tiga tahunan di awal dan akhir 10 tahun tersebut.
Rasio harga terhadap laba yang relatif rendah. Harga saham tidak lebih dari 15 kali laba perusahaan pada tiga tahun terakhir.
Rasio harga terhadap nilai buku yang relatif rendah. Harga saham maksimal adalah 150% nilai bukunya. Aturan ini boleh rada longgar jika rasio P/E ada di bawah 15, dengan catatan perkalian antara PER dan PBV tidak lebih dari 22.5. Angka 22.5 ini muncul dari perkalian PER x PBV = 15 x 150% = 22.5.
Tujuh syarat statistik ini cukup ketat, jadi akan sedikit sekali saham yang bisa masuk saringan para rekan. Saham-saham yang masuk pada kriteria ini biasanyanya adalah saham dari perusahaan yang nilainya stabil.
Buset, Bung Willy! Bisa setengah mati nih menyortir sahamnya satu per satu. LQ-45 saja ada 45 saham kan??
Tenang, kita kan sudah hidup di abad ke-21. Kita bisa memanfaatkan jasa stock screener yang tersedia cuma-cuma pada banyak situs finansial. Salah satu situs yang sangat baik jasa stock screener-nya adalah Financial Times, dan situs ini termasuk favorit saya dalam memilih saham-saham untuk portofolio saya. Jika para rekan tertarik menggunakan stock screener dari Financial Times, rekan Bola Salju telah mempersiapkan langkah-langkahnya secara elegan di halaman menyaring saham pilihan.
Jangan terlalu kaku juga harus 100% ikut kriteria Graham, cobalah bermain-main sedikit dengan screener tersebut sampai bisa mendapatkan pilihan saham yang sesuai dengan apa yang para rekan inginkan.
Nasihat Zwaig bahkan lebih sederhana lagi daripada Graham. Daripada repot-repot dengan tujuh syarat statistik di atas, beli saja semua saham pada indeks yang kita incar, atau untuk praktisnya ya berarti beli saja reksadana indeks yang kita incar dan simpan selama mungkin. Sekali lagi Zwaig mengingatkan bahwa RD indeks akan konsisten dengan dinamika pasar, juga dengan biaya yang relatif rendah, dan -yang paling penting- hanya perlu sedikit usaha saja dari pembelinya. Pesan moral bab ini adalah agar investor pasif tidak sok tahu dengan berusaha di luar kemampuannya, karena itu hanya akan menambah risiko yang tidak perlu dan biaya tambahan yang berlebihan. Jika bahkan saran Graham pada tujuh syarat statistik di atas sudah terlalu berat bagi para rekan investor disini untuk mengikutinya, maka tidak ada pilihan lain. Silakan kubur mimpi anda untuk mendapat cuan besar dari investasi saham di pasar modal secara langsung, dan fokus saja berlangganan RD indeks saja untuk ke depannya. Ulasan berikutnya adalah Bab 15: Stock Selection for the Enterprising Investor, hal 376 – 401
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 14, dan mengacu pada Bab 15: Stock Selection for the Enterprising Investor, hal 376 – 402. Setelah pada bab sebelumnya kita membahas tujuh syarat statistik bagi investor pasif, bab ini akan memberikan kriteria Graham bagi investor aktif. Dengan kata lain, bagaimana memilih saham-saham Value?
Saya tahu, saya tahu! PER-nya harus rendah kan, Bung Willy?
Yup, tepat sekali. PER atau rasio harga terhadap laba yang rendah itu yang biasanya pertama kali menjadi fokus investor aktif. Jika menggunakan stock screener, kita bisa meng-input syarat PER-nya di bawah 9 misalnya.
Graham lalu memberikan 5 syarat tambahan untuk saham pilihan investor aktif:
Ada beberapa penjelasan lain dari Graham mengenai situasi spesial, tetapi saya pribadi agak kesulitan mencari analoginya yang pas untuk pasar modal Indonesia.
Di sisi lain, Zweig menekankan bahwa sekedar mengetahui shopping list Value Investing seperti pada bab ini dan bab sebelumnya bukanlah hal yang paling utama. Terlebih penting di sini adalah agar investor aktif berlatih, berlatih, dan berlatih. Jangan berhenti hanya pada ‘kulitnya’ saja dengan sekedar screening saham lalu ‘tembak langsung’ saja uang semuanya diinvestasikan di emiten yang ada pada daftar. Proses investasi aktif ini yang mulai dari screening, meninjau kinerja masa lalu emiten, lalu ‘nebak’ kinerja emiten ke depannya tidak bisa langsung mengerti dengan sekedar membaca buku Intelligent Investor. Itu butuh jam terbang juga sampai investor aktif benar-benar jago.
Waduh, jadi bagaimana dong, Bung Willy?
Ya mulai saja latihan dengan portofolio virtual. Beberapa broker atau website finansial di Indonesia memperbolehkan simulasi trading, atau bisa juga menggunakan jasa online portfolio tracker seperti dari Bloomberg.
Dengan memulai investasi lewat simulasi dengan uang virtual, investor bisa belajar dari kesalahan tanpa kerugian langsung. Simulasi juga bisa membangun disiplin untuk menghindari trading yang berlebihan bagi anda yang ingin menjadi investor yang serius. Dan bahkan lebih jauh lagi, investor bisa membandingkan gaya main sahamnya pribadi dengan para profesional betulan, dan mencoba-coba gaya main saham yang berbeda-beda sampai dapat yang pas sebelum mulai investasi dengan uang betulan.
Misalnya setelah 1 tahun mencoba simulasi dan para rekan puas dengan hasilnya, baru buka rekening investasi saham dengan uang betulan. Jika ternyata setelah 1 tahun simulasi para rekan ujung-ujungnya hanya bosan dan tidak senang dengan proses investasinya, berarti memang menjadi investor aktif bukanlah pilihan yang tepat bagi para rekan. Silakan buka rekening reksadana indeks, dan nikmatilah sisa hidup anda sebagai investor pasif.
Kini kita sampai pesan moral bab ini. Tidak peduli teknik mereka dalam berinvestasi saham, investor sejati yang sukses memiliki dua kesamaan. Pertama, mereka disiplin dan konsisten. Investor aktif tidak akan mengubah-ubah gaya main mereka semaunya, walaupun gaya main mereka tidak sesuai dengan gaya main kebanyakan orang. Yang kedua, mereka benar-benar mendedikasikan waktu dan energi mereka untuk bisa mengerti apa yang mereka lakukan dalam berinvestasi, tetapi mereka tidak tertarik memelototi naik turunnya pasar setiap saat yang seringkali memang tidak masuk akal.
PS: Saya mendapatkan masukan yang menarik dari rekan Value Investors di USA, mengapa saya tidak membahas senjata pamungkas Benjamin Graham pada bab ini, yaitu saham Net-Net. Sebenarnya saya ini ingin menyimpan konsep Net-Net sampai setelah pembahasan Intelligent Investor selesai, karena itu terkait juga dengan kisah keberhasilan Walter & Edwin Schloss, yang ingin saya bahas secara terpisah. Harap bersabar.
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 15, dan mengacu pada Bab 16: Convertible Issues and Warrants, hal 403 – 421.Setelah pada 2 bab sebelumnya kita fokus kepada detail strategi main saham ala Graham bagi investor pasif dan aktif, kita akan melihat bab-bab terakhir dari buku Intelligent Investor ini sebagai penutup yang manis.
Bab-bab penutup ini dimulai Graham dengan bahasan akan obligasi konversi dan waran. Saya tidak berencana untuk berpanjang-lebar untuk bagian ini, karena Graham (dan juga Buffet) cukup pesimistis akan instrumen derivatif.
Selain itu, saya tidak begitu yakin opini Graham relevan dengan kenyataan mengenai obligasi konversi dan waran di Indonesia. Oleh karena itu, saya akan lebih menekankan pengertian mudah dari instrumen derivatif, baru masuk ke bagian obligasi konversi dan waran.
Tunggu, Bung Willy. Sebenarnya derivatif itu apa?
Gampangnya derivatif itu ya produk turunan dari instrumen investasi utama. Menurut Wikipedia, instrumen derivatif lahir sebagai alternatif daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok.
Coba para rekan renungkan, dari awal kan kalau kita perhatikan penjelasan Graham terus fokus pada obligasi dan saham. Ini karena memang Graham sangat merekomendasikan investor untuk fokus pada instrumen investasi utama saja, dan tidak perlu main-main yang tidak perlu di produk derivatif.
Ok, lalu?
Nah, obligasi konversi itu salah satu produk derivatif yang biasanya diterbitkan ketika perusahaan ingin menggalang dana dengan menerbitkan obligasi, tetapi ingin membuatnya lebih menarik ke depannya (sweetener) dan menarik lebih banyak lagi investor untuk menanamkan modalnya.
Bagaimana caranya?
Idenya disini adalah obligasi tersebut memiliki tempelan opsi untuk dikonversikan menjadi saham pada harga tertentu (dan biasanya konversi hanya bisa dilakukan pada jangka waktu tertentu, setelah itu obligasinya kembali menjadi obligasi biasa). Misalkan saya punya selembar obligasi yang bisa saya konversi menjadi 2 lembar saham. Anggaplah obligasi saya nilainya Rp10.000,-; secara teoritis tentunya saya akan dengan senang hati mengonversi obligasi saya jika harga saham berada di atas Rp5.000,-, kan? Misalkan harga saham hari ini meroket dari Rp4.800,- ke Rp.5.500,-. Saya tentunya akan menari-nari bahagia jika saham yang dijual di pasaran pada harga Rp5.500,- bisa saya peroleh dengan harga Rp5.000,- dari obligasi konversi saya.
Wah, asyik nih, Bung Willy! Kalau waran gimana??
Waran itu mirip dengan opsi konversi, cuma bedanya waran dijual terpisah dari produk utamnya. Ingat, kalau obligasi konversi tadi kan opsi konversi tersebut itu sudah built-in satu bagian dengan obligasinya, kalau waran tidak built-in. Yah, sama-sama sebagai sweetener deal gitu deh.
Kayaknya gak ada yang salah dengan konversi dan waran, Bung Willy. Lalu kenapa Graham dan Buffet sepertinya ‘alergi’ sama derivatif?
Permasalahannya sih bukan di konversi sama waran-nya, tetapi lebih ke tingkah laku perusahaan dalam menerbitkan produk derivatif tersebut. Kenapa perusahaan mau-maunya menerbitkan produk derivatif tersebut? Kalau dipikir-pikir rasanya perusahaan malah buntung ke depannya pas investor konversi obligasinya ke saham di harga yang menguntungkan investor (dan merugikan perusahaan kan)?
Namun yang lebih membuat Graham gemas, perusahaan bisa saja menerbitkan konversi dan waran ketika pasar sedang bullish, yang itu berarti instrumen tersebut dijual pada harga premium. Jika anda ingat kisah Tuan Pasar, ini adalah salah satu trik beliau dalam memancing investor untuk mengambil tawaran dia yang bisa saja tidak masuk akal mahalnya.
Tidak banyak yang ditambahkan Zwaig, selain masukan dari dia bahwa obligasi konversi sebaiknya memang tidak dianggap sebagai obligasi biasa. Lebih cocok kalau obligasi konversi dianggap serupa dengan saham preferen, karena memang investor akan lebih mencari peluang untuk konversi pada harga yang menguntungkan. Ini mendorong performa derivatif yang lebih condong ke pergerakan saham daripada obligasi. Nah, akhirnya kita sampai pada pesan moral bab ini: waspadalah terhadap produk derivatif. Jika anda bermain-main dengan produk derivatif tanpa mempertimbangkan risikonya, maka kerugian anda pun pasti akan berkali-kali lipat sakitnya. Walaupun demikian, saya pribadi beranggapan investor bukan berarti harus sepenuhnya anti sama konversi dan waran. Justru sebaliknya, jika ternyata investor bisa mendapatkan konversi dan waran pada harga yang sangat menarik murahnya, keuntungan investor pun bisa berlipat ganda. Bahkan Warren Buffet yang normalnya ‘alergi’ sama produk derivatif saja bisa dengan lihai mendapatkan waran dari bank besar Goldman Sachs ketika Amerika dihantam krismon 2008. Financial weapons of mass destruction, indeed.
Ulasan berikutnya adalah Bab 17: Four Extremely Instructive Case Histories, hal 422 – 445 [BELUM TERBIT]
Ulasan ini adalah kelanjutan dari Bab 19, dan mengacu pada Bab 20: “Margin of Safety” as the Central Concept of Investment, hal 515 – 531.
Seorang atheis mengunjungi filsuf dan rabi agung Martin Buber, dan mendesak Buber untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Buber menolak, dan sang atheis pun beranjak pergi dengan marah. Sesaat sebelum dia pergi, Buber bertanya satu hal padanya: ‘Anda sendiri… bagaimana anda bisa benar-benar yakin kalau Tuhan itu memang tidak ada?’ Empat puluh tahun kemudian, sang atheis menulis, ‘saya masih atheis. Namun, pertanyaan Buber terus menghantui saya siang dan malam.’ Taruhan Pascal sungguh memiliki makna yang sangat mendalam….
The Wager has just that haunting power…. Sumber: http://www.overcomingbias.com/2012/07/life-after-death-for-pascals-wager.html
Apa kesalahan utama yang bisa dilakukan seorang investor? Graham percaya bahwa kesalahan terbesar investor tidak terletak pada membeli saham perusahaan yang bagus pada harga yang kemahalan (yah, tetap saja salah sih, tetapi bukan ini bahaya utamanya). Bukan, Graham percaya -berdasarkan pengamatan di pasar modal selama bertahun-tahun- yang membuat investor merugi besar adalah membeli saham dari perusahaan yang kualitasnya payah ketika sentimen pasar sedang bergairah!
Sebentar Bung Willy, saya kurang ngerti. Maksud si Graham apaan sih?
Maksudnya begini, ketika sentimen pasar sedang bullish, investor cenderung akan ikut-ikutan membeli saham perusahaan yang kelihatannya bagus pada saat itu, tetapi fundamentalnya sebenarnya tidak kuat, dan perusahaan berpeluang tipis untuk mempertahankan kinerjanya dalam jangka panjang.
Kalau dipikir-pikir, ini sebenarnya sangat masuk akal. Coba kita renungkan, jika kerugian besar datangnya dari perusahaan yang kelihatannya doang sehat tetapi sebenarnya kagak, bukankah itu argumen yang sangat kuat untuk berhati-hati sebelum mengambil keputusan membeli? Bukankah itu alasan yang baik bagi seorang investor untuk mempelajari dengan seksama fundamental perusahaannya sebelum berinvestasi? Mengapa tidak?
Benar juga ya. Tapi saya bingung, Bung Willy. Seandainya pun saya nekat analisis fundamental suatu perusahaan dan dapat nilai wajarnya, saya sama sekali tidak yakin sama analisis saya sendiri. Misalnya saya dapat nilai wajar suatu saham itu 10 ribu rupiah, sedangkan teman saya dapatnya 9000 rupiah, dan broker saya bilang mestinya itu 12 ribu rupiah. Loh?? Yang mana yang benar???
Nah, anda semakin dekat dengan ide utama dari Pak Graham. Sama seperti anda, saya juga sebenarnya mengerti analisis fundamental yang saya lakukan… bisa saja ngawur. Ingat, analisis kita itu sangat bergantung pada asumsi dan aproksimasi. Artinya, jika inputnya berubah sedikit saja, hasil analisisnya ya pasti bakal bergeser juga. Sad but true.
Jadi kalo gitu gimana dong Bung Willy? Apa itu berarti kita lupakan saja analisis fundamental sekarang?
Tenang, Pak. Disinilah Graham memperkenalkan konsep Marjin Aman. Karena tidak ada yang tahu dimana nilai wajar yang paling akurat dari suatu saham, ya sudah, kita konservatif saja, dan ambil nilai wajar yang jauh lebih rendah dari estimasi nilai wajar kita. Misalnya nilai wajar suatu saham kita dapatkan pada level 10 ribu rupiah. Saya harus dengan rendah hati mengakui kalau perhitungan saya bisa saja ngaco, dan lebih aman kalau saya pangkas prediksi nilai wajar saya sebanyak -say- 50%.
Secara praktis, ini berarti saya harus sabar menunggu sahamnya anjlok harganya sampai menyentuh nilai wajar dengan marjin aman sebelum memutuskan membeli. Atau dalam bahasa orang awam, ayo kita borong barangnya pas lagi diskon 50%!
Biar lebih afdol, don’t put all your eggs in one basket! Marjin aman memberi kita peluang cuan yang lebih tinggi, tetapi tidak ada jaminan kalau saham dengan marjin aman yang tebal sekalipun tidak akan merugi. Akan lebih aman jika investor membeli beberapa saham yang sedang terdiskon, sehingga peluangnya lebih besar akan ada saham yang bangkit menuju nilai wajarnya yang riil. Ini juga salah satu alasan mengapa Graham sangat menekankan pentingnya diversifikasi dari awal: mirip seperti membeli tiket undian, kita tidak tahu tiket mana yang akan memenangkan jackpot, tetapi peluang kita dapat jackpot tentu akan lebih besar jika kita punya lebih banyak tiket di tangan kan?
Zwaig memberi komentar penutup bab ini dengan menekankan pentingnya aspek psikologis: investor selalu mendapat kesulitan ketika mereka melupakan prinsip investasi mereka karena terbawa nafsu. Seorang investor harus selalu mempertimbangkan aspek fundamental dalam berinvestasi, dan tidak mempersetankannya ketika Tuan Pasar mulai bertingkah yang aneh-aneh!
Ini sebenarnya kembali lagi ke bab 8 tentang Tuan Pasar, dan bagaimana Zwaig mengingatkan bahwa risiko terbesar dari berinvestasi sebenarnya datang dari investornya sendiri. Zwaig bahkan lebih jauh lagi membandingkan ini dengan konsep Taruhan Pascal: sebenarnya Tuhan itu ada atau tidak? Menurut filsuf Prancis Blaise Pascal, kita sebaiknya berpikir dari konsekuensinya.
Anggaplah anda memilih percaya Tuhan itu ada, dan menjalankan hidup selayaknya orang yang saleh dan mengasihi sesama. Ketika anda meninggal dan ternyata Tuhan itu tidak ada, anda mungkin kehilangan beberapa hal yang menyenangkan dari hidup duniawi, tetapi toh anda tidak akan merugi lebih dari itu. Sebaliknya jika anda memilih percaya Tuhan itu tidak ada, dan menjalankan hidup dengan berfoya-foya dalam kenikmatan duniawi yang fana, anda akan berada dalam kesulitan besar ketika anda meninggal dan ternyata Tuhan itu ada….
Kesimpulannya disini, dalam mengambil keputusan di tengah ketidakpastian, yang harus paling utama kita pertimbangkan adalah konsekuensi dari keputusan kita. Kita tidak pernah tahu masa depan. Seorang intelligent investor fokusnya lebih dari sekedar membuat analisis yang tajam. Lebih daripada itu, dia juga harus mempertimbangkan fakta bahwa dia bisa saja salah, karena selalu ada peluang analisis dia akan meleset.
Dengan kata lain, peluang untuk membuat suatu kesalahan dalam berinvestasi tidak akan pernah hilang, dan ini tidak terhindarkan. Akan tetapi, investor memiliki kendali penuh akan konsekuensinya jika dia salah, karena hidup itu adalah soal pilihan. Jika kita kembali ke krismon Indonesia tahun 2008, kita bisa melihat betapa powerfulnya ide marjin aman dari Benjamin Graham. Kelewat yakin saham-saham komoditas akan terus naik dan naik, tak terhitung banyaknya orang terjebak memilih sisi yang salah dari Taruhan Pascal!.
Hal yang menarik disini, George Soros, salah satu investor terbesar pada zaman modern pun sampai pada kesimpulan yang sama seperti Benjamin Graham. Ini bukan masalah kita ini benar atau salah, tetapi seberapa banyak kita akan menang ketika kita benar, dan seberapa banyak kita akan kalah ketika kita salah.
Bahkan dengan strategi main saham yang sangat berbeda dari Graham sekalipun, Soros sangat mengerti implikasi dari Taruhan Pascal. Great mind thinks alike. Sumber: http://www.azquotes.com/quote/587851
Akhirnya kita sampai pada puncak dari pesan moral buku Intelligent Investors: ingatlah untuk selalu mempertimbangkan marjin aman dan diversifikasi dalam berinvestasi! Juga selalu waspada akan ketidakwarasan Tuan Pasar, dan anda akan selamat dari konsekuensi yang fatal ketika anda berada dalam sisi yang salah dari Taruhan Pascal. Segila apa pun tawaran yang dilontarkan Tuan Pasar, seorang investor sejati akan dengan tenang menjawab: “dan yang satu ini pun… pasti akan berlalu.”
Ulasan ini mengacu kepada bagian Epilog: The Superinvestors of Graham-and-Doddsville, hal 537 – 560. Selamat membaca!
Setelah selesai membahas bab-babutama dari buku The Intelligent Investor, mari kita putar waktu sejenak ke tahun 1984. Lokasinya adalah Columbia University School of Business. Kaum akademis dan value investors sedunia telah berkumpul di sana untuk merayakan ulang tahun ke-50 terbitnya buku Security Analysis karya Benjamin Graham dan David Dodd.
Selain itu, mereka pun berkumpul untuk menyaksikan duel intelektual antar Profesor Michael Jensen, salah satu kampiun utama efficient market hypothesis, versus Warren Buffet, murid Graham yang secara terbuka menentang ide EMH. Agar lebih seru, selanjutnya saya akan menampilkan tafsiran saya secara bebas bagaimana debat itu berjalan, dengan saya sebagai moderatornya.
Michael Jensen sangat percaya bahwa EMH itu nyata Sumber: AZ Quotes
W: Pak Jensen, anda boleh membuka dialog ini sekarang.
J: Terima kasih Pak Willy. Tuan-tuan, nyonya-nyonya sekalian, sadarkah anda bahwa apa yang anda semua lakukan itu tidak lebih kemujuran belaka? Apa-apaan itu value investing. Sudah basi! Coba anda semua bayangkan ada kontes lempar koin nasional. Ok? Saya yakin tidak ada orang waras di ruangan ini yang bakal percaya kalau ada skill tersendiri untuk bisa nebak hasil lemparan koin ke depan.
Jadi pilihan anda head atau tail? Sumber: http://tripeaksconsulting.com/wp-content/uploads/2015/01/coin-flipping.jpg
W: Sebentar Pak Jensen, boleh dijabarkan lebih detail?
J: Begini Pak Willy. Ayo kita selenggarakan kontes lempar koin nasional. Kita tantang 268 juta orang di Amerika untuk bertaruh 1 dolar setiap kali berhasil menebak hasil lemparannya. Jadi setiap kali ada yang nebaknya benar, yang salah nebak harus bayar 1 dolar ke pihak yang benar. Setelah itu, para pecundang kita singkirkan dari meja taruhan, dan kita dobel taruhannya. Nah, koin yang normal peluangnya hanya fifty-fifty kan? Dan setiap kali taruhan dijalankan, separuh partisipan yang kalah akan keluar dari permainan.
Setelah 10 lemparan, kita akan punya sekitar 260.000 orang yang sudah berhasil nebak 10 kali berturut-turut. Dan setelah 20 lemparan, kita akan punya sekitar 250 orang yang berhasil nebak 20 kali berturut-turut. Itu sih bukan skill, tapi bener-bener luck.
Kelompok yang menang ini akan punya lebih dari satu juta dolar pada poin ini. Saya yakin bahkan sudah akan ada konferensi pers segala tentang skill mereka yang luar biasa sampai bisa-bisanya nebak benar lemparan koin 20 kali berturut-turut! Malahan mungkin ada dari mereka yang dengan lancangnya sudah menulis buku segala tentang trik nebak lemparan koin atau jadi nabi palsu sekalian tentang main koin ala Intelligent Investor.
W: Wah, wah, jangan begitu dong Pak Jensen.
J: Kenapa? Merasa tersindir ya Pak Willy? Hahaha… bahkan kalau pun kita ganti 268 juta orang tadi dengan 268 juta monyet, ya hasilnya juga di akhir-akhir bakalan sama saja. Akan ada sekelompok monyet yang memang cuma mujur saja kok setelah 20 kali lemparan koin. Bego bener jika sampai ada yang sampai percaya monyet-monyet itu memang punya skill tersendiri untuk nebak hasil lempar koin. Kok kedengarannya mirip ya sama para value investors? Hahahaha….
Pada detik ini, kalau saya tidak bisa menahan diri, sudah akan terjadi drama pencekikan di depan para peserta seminar. Dan saya yakin jika Jensen terus asal bacot seperti tadi, dia tidak akan keluar dari ruangan ini hidup-hidup….
W: Bisa mohon kembali lagi ke diskusi kita, Pak?
J: Ok-ok, nah jadi mestinya sudah jelas kan dari analogi tadi kalau orang seperti Pak Buffet di samping ini yang memang cuma lucky kok. To be fair, EMH tidak pernah bilang kalau orang tidak bisa mujur. Kita hanya percaya kalau faktor keberuntungan itu tidak akan bisa diraih secara konsisten. Kalau turnamen lempar koin tadi kita ulang lagi dari awal, mustahil orang-orang yang sama akan menang lagi pada putaran turnamen berikutnya. Dengan kata lain, semuanya itu benar hanya random events, dan bisa dihitung secara statistik.
B: Boleh saya bicara sekarang?
W: Silakan Pak Buffet.
B: Pak Jensen memberi analogi yang menarik soal monyet. Ok, mari kita kupas lebih jauh. Kita adakan kontes lempar koin dengan 268 juta monyet. Memang benar secara statistik kalau setelah 20 kali lemparan, kita akan punya 250 ekor monyet pemenang.…
Pada detik ini, Jensen sudah tersenyum puas penuh kemenangan.
B: … tetapi, ada satu hal yang menarik. Ke-250 monyet tersebut ternyata semuanya berasal dari suatu kebun binatang di Omaha misalnya. Apakah anda masih akan percaya ini benar-benar kebetulan belaka? Anda barangkali akan bertanya-tanya, monyet-monyet itu dikasih makan apa? Atau mereka ada dilatih khusus sebelumnya?
Senyum Jensen disini menghilang, dan dia mulai terlihat pucat.
B: Nah, ini kan artinya ada konsentrasi keberhasilan tertentu di atas rata-rata. Seorang pengamat yang astute akan melakukan investigasi lebih mendalam apa konsentrasi karakteristik yang bisa menjadi penyebabnya. Kalau mengutip ke kalimat Pak Jensen tadi, “kok kedengarannya mirip ya sama para value investors? Hahahaha….”
Para peserta seminar dan saya ikut tertawa bersama Pak Buffet. Suasana menjadi cair.
B: Kelompok investor sukses tersebut semuanya mengacu kepada sang bapak intelektual: Benjamin Graham. Yang menarik disini, anak-anak dari sang bapak semuanya sudah pergi merantau meninggalkan rumah bapaknya, dan membangun sistem investasi mereka sendiri dengan cara yang berbeda-beda. Mereka telah pergi ke tempat yang berlainan, memperjualbelikan saham dari perusahaan yang beraneka ragam pula, tetapi tetap saja mereka memiliki rekor yang tidak bisa dijelaskan dengan kebetulan acak belaka. Bahkan sang bapak pun tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, beliau hanya sebatas mengemukakan teori intelektual tentang bagaimana mengambil keputusan nebak koin, tetapi tiap-tiap anak menerapkan teori tersebut dengan gaya mereka sendiri.
Nah, value investing itu kan idenya mencari saham-saham yang value-nya punya marjin aman yang lebar relatif terhadap harga saham kan? Pak Jensen mungkin benar kalau berpikir kemajuan teknologi informasi dan analisis pasar akan membuat pasar semakin efisien, dan sukses jangka panjang main saham ya hanya pure chance. Namun, jika para pemenang jangka panjang tersebut semuanya berasal dari penganut setia value investing, dan mereka semua beroperasi secara independen satu sama lain, maka tidak masuk akal kalau dibilang keberhasilan mereka adalah faktor keberuntungan belaka. Justru sebaliknya, ini adalah kemenangan dari strategi yang tepat.
Pak Willy, bisa tolong dipasang slide yang saya bawa?
W: Oh iya, ini saya pasang di depan layar ya pak.
Strategi para anak value investing di perantauan
B: Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian, coba perhatikan slide yang saya bawa. Ini adalah 9 dari pengelolaan dana investasi yang relatif sudah berhasil semuanya. Salah satunya adalah Buffet Partnership saya sendiri yang sudah tutup pada 1969. Bisa anda lihat dengan mata-kepala sendiri bahwa average long-term returns dari para manajemen investasi tersebut semuanya di atas rata-rata pasar.
Sekali lagi saya tekankan bahwa para MI ini semuanya menjalankan strategi investasi yang berbeda-beda, hanya saja dasar teorinya tetap mengacu kepada value investing pak Benjamin Graham. Bahkan bagi yang skeptis model Pak Jensen di samping saya ini, harap diingat bahwa timing pembelian sahamnya seringkali tidak bersamaan. Para manajer ini semuanya benar-benar independen satu sama lain.
Ada tiga hal penting yang saya ingin saya tekankan disini. Pertama, kami percaya pada premis dari Graham-Dodd: semakin tebal marjin antara harga saham yang sedang unvervalue dengan value sejatinya, justru semakin kecil risiko yang diambil para investor. Dan sebaliknya pun juga sama, ketika marjin aman menipis, risiko justru meningkat. Yang kedua, potensi return mau tidak mau akan berkurang ketika nilai dana pengelolaan bertambah, karena jumlah saham undervalue yang bisa dibeli akan semakin sedikit. Dan terakhir, kalau mengacu kepada latar belakang para manajer yang sukses, ada implikasi bahwa seseorang akan langsung menerima strategi value investing, atau tidak akan pernah menerimanya, tidak peduli mau dilatih seperti apa atau seperti apa pengalaman mereka yang sukses dengan value investing.
Saya tidak mengerti mengapa manusia senang membuat ribet sesuatu yang semestinya sederhana… dan ini akan terus berlanjut ke depannya. Tetap saja ada orang-orang yang tidak bisa menerima kalau bumi itu bulat, padahal jelas-jelas sudah tak terhitung banyaknya kapal berlayar mengelilingi samudera… dan demikian pula,mereka yang percaya kepada ajaran Graham dan Dodd, akan terus bertambah jaya. Tepat setelah kalimat Buffet yang terakhir, seisi ruangan langsung berdiri dan memberikan standing ovation yang meriah, sedangkan Jensen sudah patah semangat tertunduk lesu. Pada jamuan makan setelah debat, kami semua sepakat bahwa malam itu akan tercatat dalam sejarah bahwa Buffet sudah berhasil membungkam EMH once and for all, dan value investing akan tetap jaya ke depannya.
“Jika jatuh, berdiri lagi. Jika kalah, mencoba lagi. Jika gagal, bangkit lagi. Begitulah perjuangan hidup sampai Tuhan berkata sudah ‘Waktunya untuk pulang’.” Kita hanyalah manusia yaaa wajarlah jika kita pernah gagal. Oleh karena itu, jangan pernah biarkan rasa kecewa menghentikan pikiran kita untuk menemukan penyebab kegagalan. Jika kita gagal sepuluh kali, ingatlah bahwa ada orang yang telah gagal lima belas kali sebelum mencapai keberhasilan.
Tidak ada yang mudah memang seakan semuanya sia-sia namun pastinya jangan pernah biarkan rasa kecewa menghentikan pikiran kita untuk menemukan penyebab kegagalan. Banyak faktor membuat di dalam berinvestasi kita gagal, terlebih lagi apabila menjadi seorang trader salah satu yang membedakan antara trader beruntung dan berpengalaman adalah Wait and See. (dapat dibaca secara lebih lengkap di https://id.investing.com/analysis/anda-akan-selalu-gagal-dalam-trading-sebelum-menguasai-skill-ini–200207396)
Selain wait and see kita juga masih dihadapkan akan emosi dan yang tentunya tidak lepas dari pengaruh para Bankir/ Hedge Funds. Ketika kita terus mencari apa yang membuat kegagalan kita tentunya jangan pernah kecewa.
Contoh kasus, ketika kita sudah wait and see dan semua metode sudah terkonfirmasi hal yang bisa kita lakukan adalah tentunya menghindari para Bankir/ Hedge Funds dengan menggunakan lot-lot kecil pada transaksi kita. Lot kecil ini sangat dibenci oleh para trader, broker namun seperti yang kita bahas di atas mungkin itulah salah satu penyebab kegagalan kita, karena dana yang kita miliki hanyalah sedikit.
Tentunya kita semua berharap untuk sukses dan dapat menggapai cita-cita, harapan yang telah lama kita idam-idamkan, tetaplah semangat dan berdoa, belajar, belajar dan bekerja lagi tanpa harus menyalahkan para broker, Bankir/ Hedge Funds apalagi diri sendiri. Bukankah kita diberikan talenta masing-masing, percayalah semuanya sudah digariskan tapi cita-cita harus diperjuangkan. Akhirnya Fokus pada diri sendiri hingga sekeliling kita fokus pada kita.
Kalau menurut Anda tulisan ini bermanfaat beri dukungan dengan membeli produk di blinstore kita.
Zero-sum game adalah representasi matematis dari suatu situasi di mana keuntungan yang dimenangkan oleh salah satu pihak atas kekalahan pihak lain. Jika total keuntungan peserta dikurangi kerugian, maka jumlah tersebut akan menjadi nol. (Sumber : https://www.wartaekonomi.co.id/read342657/apa-itu-zero-sum-game?page=1)
Pertanyaannya adakah hal ini terjadi di dunia investasi, mari kita menjawab secara jujur. Apabila kita menjadi trader tentunya banyak transaksi kita sudah masuk ke zona ini dimana kita hanyalah sekumpulan trader kecil yang dengan modal kecil, mental yang kecil dihadapkan dengan para Bankir/ Hedge Funds yang bersatu untuk meraup keuntungan secara sepihak.
Hal ini bisa terjadi kapan saja, mulai dari time frame 1 jam, 4 jam, daily, weekly, monthly karena para analis Bankir/ Hedge Funds juga bekerjanya sama seperti kita tidak ada bedanya, yang membedakan secara nyata adalah mereka memiliki modal yang tidak terbatas dan mendapat informasi lebih daripada kita.
Namun, nyatanya yang paling mendasar adalah trader eceran mencoba memprediksi arah pasar menggunakan harga dengan banyak metode teknikal. Sedangkan, para Bankir/ Hedge Funds mencoba memprediksi pasar dengan memahami apa yang akan dilakukan trader eceran.
Pergeseran perspektif inilah yang kurang dimiliki oleh sebagian besar trader eceran, mereka pikir cara terbaik untuk memprediksi pasar adalah dengan menggunakan analisa teknikal berdasarkan harga (pada dasarnya semua analisis teknis), mereka belum menyadari alasan pergerakan pasar adalah karena orang membuat keputusan perdagangan.
Tahun 2008 belum banyak informasi mengenai perihal ini diberitakan, istilah “Big Boys” yang ada saat itu. Saat ini cukup lumayan banyak artikel membahas hal ini, bahkan di Film ‘The Big Short’ di ceritakan bagaimana Di Balik Housing Bubble Amerika Serikat. Film ini juga berkisah tentang kejatuhan perbankan di tahun 2008. Di film ini saya melihat bukan bagaimana kejatuhan sistem perbankan ini, tetapi dua orang trader kecil yang mencoba masuk ke dunia para Bankir/ Hedge Funds yaitu Charlie Geller dan Jamie Shipley. Yang harus meminta bantuan mentornya Ben Rickert untuk bisa melakukan transaksi berskala besar dan bagaimana Ben Rickert harus bersembunyi untuk bisa aman untuk bertransaksi (Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/The_Big_Short_(film), https://ekspresionline.com/the-big-short-bom-waktu-ekonomi/).
Didalam chat di gambarkan bahwa Bankir/ Hedge Funds tetap juga bermain di time frame yang kecil dan tetap selalu mengikuti dan memprediksi pasar dengan memahami apa yang akan dilakukan trader eceran. Pahit memang untuk trader eceran seperti di dalam film ‘The Big Short’ dimana Charlie Geller dan Jamie Shipley hanya di terima di lobby untuk bisa masuk ke kelas “ELITEnya” para Bankir/ Hedge Funds.
Sumber : https://forexmentoronline.com/the-biggest-secret-in-forex-trading-zero-sum-market/
Selanjutnya, apa yang kita lakukan. Tetaplah menjadi Charlie Geller dan Jamie Shipley apabila kita masih di zona “trader eceran” karena mereka tetap berusaha untuk suatu keyakinan akan sistem dan informasi yang mereka analisa dan pelajari selama ini dengan cara yang berbeda. Mungkin solusi yang bisa dilakukan selain menggunakan lot kecil juga melakukan analisa dengan time frame bulanan, karena dengan time frame ini sangat sulit juga bagi Bankir/ Hedge Funds untuk bisa melakukan permainan “Zero Sum Game”.
Pada akhirnya yang konsisten akan sistem mereka dan tidak membutakan diri atau “greedy” dialah akhirnya yang menjadi pemenang. Tetap semangat, belajar dan bekerja. Tuhan saja percaya kamu mampu melakukanya, masa kamu tidak. Itu saja.
Kalau menurut Anda tulisan ini bermanfaat beri dukungan dengan membeli produk di blinstore kita.
Seorang Independet Trader ternyata tidaklah mudah ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain psikologis, menyusun portpolio yang tentunya nantinya akan sangat dibutuhkan untuk menilai sejauh mana sistem berjalan sesuai ekspetasi atau hanya sekedar “Lucky” . Dengan adanya portpolio yang tersusun dengan baik kita dapat menghindari kerugian yang lebih besar, apakah kita perlu melakukan diversifikasi pada instrument investasi kita atau dengan mudahnya kita melakukan system compound interest (bunga berbunga) di account yang kita kelola dengan tentunya secara signifikan akan memberikan keuntungan yang berlimpah (profit) serta konsisten.
Dengan adanya portpolio kita dapat menghindari mental breakdown, ketika mental kita terganggung tentunya akan membuat cara kerja kita semakin tidak baik, hal ini tentunya membuat peluang untuk MC (Margin Call) sangat besar terjadi. Kesulitan seorang trader untuk bangkit adalah ketika ia lose berkali-kali dan tentunya ketika MC. Sistem apapun itu tidak akan ada satupun yang sempurna ini yang pasti dan harus diakui oleh semua trader. Karena itu sangatlah diperlukan seorang trader yang tau benar cara kerja investasi di mata uang maupun saham ini bukan hanya tau untungnya saja tapi ada soal psikologis, kerja keras, kerja cerdas, cepat sehingga portpolio yang baik akan dapat mengurangi kerugian yang lebih besar karena kita dapat melihat dan mempelajari data portpolio kita untuk segera berubah dan melakukan tindakan sebelum mental breakdown dan MC terjadi.
Seorang Warent Buffet pun melakukan hal tersebut ada satu kutipan dari pernyataannya yang saya ingat untuk para investornya yaitu “Menurut New York Times Magazine, kepada investornya Buffet sering berkata, “Saya akan menjalankannya seperti menjalankan uang saya sendiri, dan saya akan mengambil bagian dari kerugian dan sebagian dari keuntungan. Tapi saya tidak akan memberitahu Anda apa yang aku lakukan.
“Disini bisa kita melihat bahwa ia sudah mengakui bahwa sistem yang ia buat tidak akan dapat selalu profit secara sempurna di dalam bertransaksi, namun ia tetap mendapatkan keuntungan dari para investor karena kerugian yang buat tidak melebih kerugian dari Wall Street, sehingga ia berpendapat bahwa ia layak mendapatkan bunga dari para investornya. Dengan adanya data portpolio ini tentunya sangat mungkin dilakukan.
Jadi intinya apabila mau memaksimalkan keuntungan sebaiknya kita bekerja dengan portfolio yang tersusun secara baik dan rapi. Apabila mau belajar membuat portfolio dapat disini.
Kalau menurut Anda tulisan ini bermanfaat beri dukungan dengan membeli produk di blinstore kita.
Memperkenalkan pasar investasi kepada keluarga sendiri dimulai saat meminta mereka menjadi investor dan mengajak mereka menjadi Tim yang solid. Namun, ternyata setelah memperkenakan investasi dunia trading tahun 2012 mereka awalnya hanya mendengar kini malah ikut terjerumus menjadi seorang “Trader”an walau dibidang yang berbeda. Ada yang menggunakan Crypto Currency maupun Binary option. Bidang investasi yang tergolong baru dibandingan dengan Saham maupun Foreign Exchange, mungkin disebabkan usia dan pribadi yang berbeda.
Yang menjadi enaknya ketika di dalam keluarga sudah ada yang paham jadi bisa mengerti suka-dukanya. Saya ingat dulu baru pertama kali mencerita kepada Emak dan Bapak tentang dunia trading mereka “bingung” mau bilang apa yang terlontar ya itu perkataannya “mimpi jangan terlalu besar” tapi ternyata ketika adik-adik sudah mulai paham dan terjun dan jatuh bangun dan sepertinya masih jatuh juga di dalam dunia trading orang tua yang dari dulu jiwa pedagangnya selalu ada mulai paham dan mensupport segala cita-cita anak-anaknya yang penting tidak merugikan orang lain.
Satu hal yang saya suka dari konsep trading kita memang di kumpulkan diantara demand dan supply namun kita hanya mengalahkan diri sendiri, tidak orang lain, dapat juga menjadi investasi jangka panjang semoga diberikan umur yang panjang dan kesehatan setelah pensiun nantinya tetap menjadi produktif.
Semoga suatu saat nanti cita-cita saya untuk menjadikan kami Tim Keluarga yang solid bisa terwujud, walaupun tetap di bidang kami masing-masing dan profesional. Sulit mengejar konsisten namun apabila tidak di kejar dengan bekerja keras serta bekerja cerdas saya kira mimpi tetap akan menjadi mimpi. Doa suatu kewajiban yang tidak perlu diingat tapi wajib terlaksana. Pasti.
Jadi teringat ketika mencoba mendirikan “Fund Manager” an di Kaskus saat ada kaskuser “muslim.chinese” yang berkenan mengunjungi thread saya dan memberikan nasehat. Sebenarnya dari awal secara pribadi tidak pernah menggunakan system “averaging/martil”, namun semua system sama saja yang penting intinya mampu memberikan profit yang konsisten dan besar itulah harapan para trader maupun investor.
Tetapi apakah sistem averaging/martil adalah sistem yang salah, semua sistem pada dasarnya menghasilkan dan semuanya terserah Sang Pencipta kepada siapa Dia berkenan memberikan profit atau tidak, namun kita pada dasarnya harus tau apakah kita sedang menjadi spekulan atau sedang investasi, intinya jangan membohongi diri sendiri.
Kita para trader dimanapun dia dan siapapun dia, seharusnya paham bahwa sistem yang ada besar kemungkinan akan MC dalam situasi yang tidak sesuai dengan pasar dan tidak akan MC apabila money managementnya dirancang secara ketat dan benar, tapi semua sistem pada dasarnya adalah profit.
Saya berpernah masuk ke sebuah forum yang mau membuat robot forex dan sang pendiri forum meminta dan mencari sistem yang lose secara konsisten atau trader yang selalu kalah di dalam setiap transaksi untuk dibuatkan robotnya supaya menjadi menghasilkan robot yang profit secara konsisten dan tidak akan pernah rugi. Saya berpikir bahwa sang pendiri forum tersebut tidak akan pernah mendapatkannya karena sama halnya dengan mencari sistem yang profit terus secara konsisten.
Mari berdoa, belajar dan bekerja sehingga mendapatkan sistem yang sesuai dengan psikologi kita, management keuangan kita, waktu kita serta target dan harapan kita, namun apabila Anda tidak memilki waktu luang untuk belajar dan mau menikmati keuntungan dari bisnis sekarang sangat banyak securitas dan fund manager yang terpercaya dan handal. Tetaplah berinvestasi karena bila sekedar menabung kita akan selalu ketinggalan dengan inflasi, semoga dapat menjawabnya. Salam profit.
Kalau menurut Anda tulisan ini bermanfaat beri dukungan dengan membeli produk di blinstore kita.